Proses Penyelesaian (Sengketa) Pemilu/Pilkada
Sejak Pengawas Pemilu terbentuk tahun 2007 hingga 2020 ini, kewenangannya mengalami eskalasi terus meningkat baik dalam menyelenggarakan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Pada embrio awal, pengawas pemilu merupakan bagian subordinat dari Komisi Pemilihan Umum. Pada fase selanjutnya (kurun waktu 2011-2015), bawaslu dikenal memiliki kewenangan mencegah dan penindak atas laporan atau temuan dugaan pelanggaran.
Dewasa ini, pengawas pemilu diberi kewenangan tambahan oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa proses politik pemilu dan pilkada. Kewenangan ini tergolong baru.
Walau klausul sengketa sebelumnya telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 namun tidak terdefinisi secara jelas yang dimaksud dengan sengketa. Kemudian, pada tahun 2015 barulah sengketa didefinisikan dalam ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2015.
Dalam ketentuan tersebut, menjelaskan bahwa sengketa pemilu merupakan sengketa yang diakibatkan oleh adanya putusan KPU Republik Indonesia, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kabupaten atau Kota. Lebih lanjut, pada perubahan kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016, kewenangan pengawas pemilu kembali ditambah dan diperkuat.
Indikator penguatan kewenangannya adalah putusan penyelesaian sengketa oleh pengawas pemilu bersifat final dan mengikat pada beberapa hal. Dasar kewenangan pengawas pemilu dalam menyelesaikan sengketa proses pemilihan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Sedangkan kewenangan menyelesaikan sengketa proses pemilu merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pada sengketa proses pemilihan, Pengawas pemilu memiliki kewenangan menyelesaikan berdasarkan ketentuan Pasal 143 UU No. 1 Tahun 2015 terakhir diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2016, bahwa: (a) Sengketa Pemilihan Gubernur diselesaikan oleh Bawaslu Provinsi; dan (b) Sengketa Pemilihan Bupati/Walikota, diselesaikan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota.
Pada sengketa proses Pemilu sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur tugas Bawaslu Provinsi dalam mencegah dan menindak sengketa proses pemilu sebegai berikut: Pertama, Pasal 97 huruf a angka 2 menerangkan bahwa Bawaslu Provinsi bertugas melakukan pencegahan dan penindakan di wilayah provinsi terhadap sengketa proses Pemilu. Kedua, Pasal 97 huruf e angka 2, bahwa Bawaslu Provinsi bertugas mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa pemilu.
Ketiga, Pasal 98 ayat (1), Bawaslu Provinsi bertugas melakukan pencegahan sengketa proses pemilu dengan cara: (a) mengidentifikasi dan memetakan potensi pelanggaran pemilu di wilayah provinsi; (b) mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsi; (c) melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah dan pemerintah daerah terkait; dan (d) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu di wilayah Provinsi. Keempat, Pasal 98 ayat (3), Bawaslu Provinsi dalam melakukan penindakan sengketa proses pemilu bertugas: (a) menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu di willayah provinsi, (b) memverifikasi secara formal dan meteril permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu di wilayah provinsi, (c) melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa di wilayah provinsi, (d) melakukan proses ajudikasi sengketa proses di wilayah provinsi apabila mediasi belum menyelesaikan sengketa proses pemilu, dan (e) memutus penyelesaian sengketa proses pemilu di wilayah provinsi. Kelima, Pasal 99 huruf a menerangkan wewenang Bawaslu Provinsi, yaitu menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu di wilayah provinsi.
Output dari pelaksanaan kewenangan pengawas pemilu dalam menyelesaikan sengketa mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juncto Pasal 37a Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2016 adalah menghasilkan Putusan. Putusan pengawas pemilihan atas penyelesaian sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilihan bersifat Mengikat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 144 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016. Proses pengambilan Putusan penyelesaian sengketa wajib dilakukan oleh pengawas pemilu melalui proses yang Terbuka.
Proses penyelesaian sengketa yang menghasilkan putusan yang mengikat dibutuhkan kapabilitas dan profesionalisme pengawas pemilu. Bagaimana pengawas pemilu memiliki kompetensi: (a) enquiry (penyelidikan) atas obyek, subyek dan fakta-fakta sengketa; (b) teknik dan proses beracara penyelesaian sengketa yang terbuka; (c) melakukan mediasi para pihak yang bersengketa; (d) melakukan konsiliasi sengketa; (e) menyelesaikan stalemate sehingga menghasilkan putusan yang adil; (f) ketika terjadi elimination pihak sengketa; dan (g) integrasi pendapat-pendapat semua pihak yang bersengketa sampai diperoleh putusan yang tepat, adil dan diterima (memaksa) semua pihak. Kompetensi-kompetensi tersebut penting dimiliki oleh pengawas pemilu untuk menunaikan amanah undang-undang atas institusi pengawas pemilu.
Sebagai bentuk tanggung jawab atas amanah tersebut maka kompetensi, sarana dan prasarana yang tepat perlu dipersiapkan. Terdapat Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu bersifat Final dan Mengikat, kecuali putusan terhadap: (a) verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu; (b) penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan (c) Penetapan Pasangan Calon. Para pihak yang tidak menerima terhadap Putusan Bawaslu yang berkaitan dengan hal-hal yang dikecualikan tersebut dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu bersifat final dan mengikat para pihak yang tidak puas terhadap Putusan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi TUN.
Metode Penyelesai Sengketa
Istilah sengketa secara umum secara bergantian dengan istilah konflik, perselisihan dan bahkan dengan pelanggaran. Tetapi, dalam kepemiluan di Indonesia istilah tersebut dimaksudkan untuk menunjuk kepada persitiwa yang berbeda. Sengketa digunakan untuk mewakili keadaan yang terjadi antara peserta dengan peserta karena adanya perbedaan penafsiran atas suatu aturan mengenai kegiatan pemilu/pemilihan atau adanya penolakan pengakuan kepada peserta lainnya, maupun perbedaan pengakuan antara peserta dengan penyelenggara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU atau KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota terutama mengenai penetapan peserta. Perselisihan digunakan khusus terhadap adanya perbedaan penghitungan perolehan hasil suara antara peserta dengan penyelenggara yang terwujud dalam Keputusan KPU atau KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota khusus mengenai penetapan perolehan hasil suara.
Pelanggaran digunakan untuk suatu keadaan yang berkaitan dengan adanya aturan berupa melakukan sesuatu yang dilarang atau tidak melakukan sesuatu yang diharuskan. Sengketa Pemilu dan Sengketa Pemilihan dibedakan lagi menjadi Sengketa Proses Pemilu dan Sengketa Pemilihan serta Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pemilihan. Sengketa Proses Pemilu menjadi tugas dan wewenang Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota, dan sengketa pemilihan menjadi tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya. Sementara sengketa TUN Pemilu dan pemilihan menjadi tugas dan wewenang lembaga peradilan tata usaha negara setelah seluruh upaya administratif di lembaga Pengawas Pemilu dilakukan.
Sengketa proses pemilu dan pemilihan dibedakan lagi menjadi 2 (dua). Sengketa proses pemilu dan pemilihan yang terjadi antarpeserta, dan antara peserta dengan penyelenggara pemilu dan pemilihan. Varian penyelesaian sengketa antar peserta dan penyelesaian sengketa antara dengan penyelenggara pemilu dan pemilihan memiliki sedikit perbedaan. Penyelesaian sengketa antarpeserta pemilihan dapat diselesaikan melalui acara cepat dan musyawarah. Sedangkan, penyelesaian sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilihan menggunakan metode musyawarah. Pada konteks penyelesaian sengketa pemilu termaktub metode mediasi, musyawarah, dan ajudikasi. Pada prinsipnya Sengketa Proses Pemilu dan Pemilihan diselesaikan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota melalui musyawarah untuk mufakat.
Proses Mediasi
Setelah menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu, Bawaslu/Bawaslu Provinsi/Bawaslu Kabupaten/Kota segera memverifikasi (mengkaji) secara formal dan materiel permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu tersebut. Kemudian mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui Mediasi atau Musyawarah dan mufakat. Dalam hal mediasi/musyawarah tidak mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi.
Seluruh proses pengambilan putusan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan. Metode yang sama juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan meskipun tidak secara tegas menggunakan istilah mediasi dan adjudikasi. Berkenaan dengan sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan pemilihan yang bersifat mendesak, terjadi pada tahapan yang singkat diselesaikan dengan Acara Cepat.
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu/Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lambat 12 (dua belas) hari sejak diterimanya Permohonan Penyelesaian Sengketa. Artinya tenggang waktu penyelesaian sengketa proses pemilu dan pemilihan mulai dari permohonan sengketa diregister hingga diputuskan dilakukan maksimal 12 (dua belas hari).
Permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu dan sengketa proses Pemilihan dinyatakan gugur apabila: (a) Pemohon dan/atau Termohon meninggal dunia; (b) Pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan pertama setelah 2 (dua) kali diundang secara patut dan sah oleh Pengawas Pemilu; (c) Termohon telah memenuhi tuntutan Pemohon sebelum dilaksanakannya proses penyelesaian sengketa; dan (d) Pemohon mencabut permohonannya.
0 Comments