Citayam Fashion Week; Transformasi Ruang Publik dan Pop Culture Masyarakat Urban

Yusak Farchan
Pengamat Politik Citra Institute; Dosen FISIP Universitas Sutomo

Kawasan elit Sudirman Jakarta yang biasanya dipenuhi pegawai kantoran, kini diwarnai dengan munculnya street fashion sekumpulan remaja. Gaya para remaja tanggung tersebut menyedot perhatian publik karena berpakaian nyentrik dan unik. Beberapa di antaranya bergaya hip hop, sebuah sub culture (fashion) yang lahir dari genre musik jalanan. Ada juga yang bergaya harajuku dengan penampilan eksentrik. Tak mau kalah, sekumpulan remaja putri mengusung outfit bertemakan “cewek mamba” di mana hampir seluruh pakaiannya bewarna monokrom serba gelap atau hitam. Outfit mamba yang dianggap lebih simpel dan lebih mengarah boyish ini menjadi style favorit dalam ajang mode jalanan tersebut.

Melalui tangan-tangan kreatif pembuat konten, ajang mode jalanan anak-anak muda tersebut viral dengan cepat. Oleh warganet, Sudirman Central Business District yang berakronim SCBD dan menjadi ikon bisnis nomor wahid berubah menjadi Sudirman Citayam Bogor Depok. Anak-anak muda yang sebagian besar berasal dari wilayah Citayam, Depok, Bojonggede, hingga Bekasi ini memang kerap memadati kawasan SCBD meski hanya untuk sekadar “ngopi” atau bercengkera bersama teman-temannya.

Dari ruang publik tersebut, lahirlah istilah Citayam Fashion Week atau ajang mode jalanan dengan gaya dan dandanan nyentrik. Bahkan, ajang street fashion tersebut juga melahirkan para “seleb” baru, seperti Roy Citayam dan Jeje Slebew yang namanya mendadak populer karena gaya berpakaiannya yang masuk ke berbagai konten media sosial saat sedang nongkrong di area Sudirman, Jakarta.

Fenomena munculnya Citayam Fashion Week menandai dua hal sekaligus. Pertama, kebutuhan akan ruang publik. Eksistensi ruang publik yang representatif menjadi kebutuhan sekaligus ikon urbanisme dalam konsep tata ruang kota modern. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam konteks ini adalah mengapa para remaja dari luar Jakarta justru agresif berburu ruang publik ke Jakarta?.

Secara obyektif harus dikatakan bahwa pengaturan tata ruang termasuk ruang publik di kawasan penyangga Jakarta menjadi problem serius di tengah pesatnya pertumbuhan perumahan (town house) dan padatnya pemukiman. Krisis ruang terbuka hijau di daerah-daerah penyangga Jakarta seperti Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dan sekitarnya menjadi pemicu bergesernya para remaja ke kawasan Jakarta untuk mencari ruang publik yang representatif.

Akses transportasi yang mudah dari wilayah sekitar Jakarta semakin membuat para remaja memburu paras cantik Dukuh Atas yang mulai hidup dan menjadi ruang interaksi masyarakat. Dukuh Atas memang dikembangkan sebagai Transit Oriented Development (TOD), atau sistem transportasi terintegrasi pertama Jakarta yang mempertemukan berbagai transportasi publik seperti MRT Jakarta, kereta KRL Commuterline, TransJakarta, kereta bandara, dan LRT Jabodebek.

Dari perspektif teoritis, Habermas (1962) sebenarnya telah menyediakan kerangka teoritik yang komprehensif terkait prasyarat ruang publik yang ideal. Perlu dicatat bahwa ruang publik yang otonom untuk civic-participation merupakan elemen fundamental demokrasi. Oleh karena itu, tepat jika Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta memberi “lampu hijau” terhadap munculnya Citayam Fashion Week di kawasan elit tersebut. Dalam bahasa Anies Baswedan, seluruh golongan masyarakat berhak menikmati demokratisasi di ruang publik, tidak hanya kalangan ekonomi menengah ke atas sebagaimana dominan di kawasan elit Sudirman sebelumnya.

Ruang publik yang tersedia memang sudah selayaknya bersifat netral dan tidak diskriminatif dalam rangka membangun civic participation yang lebih luas. Ruang publik harus jauh dari monopoli kekuatan politik dan modal. Monopoli ruang publik yang dikendalikan oleh pasar dan elite cenderung mengebiri tujuan demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, ruang publik yang dikendalikan oleh pasar akan terjebak dalam logika pasar yang digerakkan oleh uang ketimbang solidaritas. Dalam konteks ini, Habermas telah mengingatkan potensi terjadinya refeodalisasi ruang publik yang akan mengancam otonomi ruang publik.

Dalam perkembangannya saat ini, ruang publik memang telah bertransformasi menjadi arena pertarungan terbuka simbol-simbol dan identitas kelompok. Dapat dipahami jika kecenderungan anak muda yang ingin tampil trendi memerlukan dukungan ruang publik yang representatif. Apalagi, dalam proses pencarian identitasnya, kelompok remaja memerlukan medium yang tepat, salah satunya melalui street style dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang sangat terbatas.

Kedua, fenomena Citayam Fashion Week yang bercirikan street style menjadi bagian dari pop culture masyarakat urban kontemporer. Street style yang tumbuh dari mode jalanan dan bukan dari fashion show atau desainer ternama, kini semakin populer dan digandrungi kalangan anak muda Indonesia. Secara historis, street style seiring perkembangannya, mulai dilirik para desainer populer dan mulai mempengaruhi dunia high fashion. Street style hip hop fashion misalnya, kini telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar.

Daya tarik produk-produk budaya populer tersebut sengaja didesain sedemikian rupa oleh kekuatan industri budaya. Setali tiga uang, industri kreatif juga turut bekerja secara agresif membentuk dan memperluas pangsa pasar dari menggeliatnya industri budaya (street fashion) di tanah air.

Sebagai produk budaya populer, street fashion kerap melekat dan menjadi ciri penting komunitas milenial urban untuk merepresentasikan identitasnya. Street style versi Anak Bojong Gede (ABG) seolah hadir untuk menjawab dan mengimbangi fashion show kelas elite yang sudah menjadi tren di kota-kota besar sebelumnya.

Dari perspektif filsafat kritis, dalam masyarakat industrial yang didominasi oleh kekuatan kapitalisme, konsumsi produk-produk budaya umumnya memang tidak didorong oleh kebutuhan (need), tetapi karena keinginan memenuhi hasrat yang didesain oleh daya pikat dan pesona budaya populer.

Keinginan para remaja untuk bergabung dalam ajang mode jalanan sesungguhnya tidak sepenuhnya didorong oleh faktor kebutuhan (need), melainkan juga didorong oleh keinginan memenuhi hasrat akibat pesona budaya populer. Melalui tangan-tangan kreatif industri budaya, street style hadir sebagai arena representasi kelompok milenial urban.

Sub Kultur Baru Jakarta Raya

Melihat potensinya yang sangat besar, akankah Citayam Fashion Week menjadi sub kultur baru Jakarta Raya?. Pertanyaan ini tentu membutuhkan kajian mendalam mengingat banyak variabel penting yang harus diurai seperti dukungan pemerintah, respon pasar, jejaring industri kreatif, lifestyle dan sikap masyarakat itu sendiri.

Gagasan pembentukan Jakarta Raya sebagaimana dilontarkan Walikota Depok Mohammad Idris masih tampak sebagai respon insidental terkait fenomena warganya yang menyerbu Jakarta dalam ajang mode jalanan. Akan lebih progresif jika Walikota Depok berkonsentrasi menambah ruang terbuka hijau (RTH) sebagaimana amanat UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Keberadaan RTH menjadi prasyarat penting kota modern untuk menjamin aktivitas kewargaan kota secara lebih optimal.

Wacana pembentukan Jakarta Raya tetap membawa implikasi serius terutama dari sisi politik dan ekonomi sehingga memerlukan kajian yang lebih komprehensif. Namun demikian, yang pasti, ajang mode jalanan di kawasan Sudirman Jakarta, sejauh ini berpotensi menjadi daya pikat yang melahirkan berbagai subkultur baru. Jakarta kini menjadi semakin berwarna berkat anak-anak gaul Citayam, Bojonggede, Depok dan sekitarnya.

*Artikel tersebut telah diterbitkan sebelumnya di sudutpandang.id tanggal 21 Juli 2022. Link Artikel : https://sudutpandang.id/citayam-fashion-week-transformasi-ruang-publik-dan-pop-culture-masyarakat-urban/

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *