Demokrasi Rousseau dan Tinjauan Kritis atas Kontrak Sosial
Ringkasan Buku
Buku The Social Contract ditulis oleh Jean-Jacques Rousseau, salah satu filosof besar abad Pencerahan. Sebagian besar naskahnya ditulis dan diterbitkan tahun 1762 di Geneva Swiss. Dalam buku tersebut, secara umum gagasan-gagasan Rousseau tentang demokrasi cukup luas, meliputi tema-tema demokrasi baik yang sifatnya substantif, prosedural, maupun konstitusional.
Buku tersebut terdiri dari empat buku, yaitu Buku I, Buku II, Buku III dan Buku IV. Buku I terdiri dari 9 bab yaitu; Bab 1 Kajian Buku I; Bab 2 Masyarakat Pertama; Bab 3 Hak-Hak Terkuat; Bab 4 Perbudakan; Bab 5 Perlunya Kembali ke Konvensi Asli; Bab 6 Pakta Sosial; Bab 7 Berdaulat; Bab 8 Masyarakat Sipil; dan Bab 9 Kepemilikan (properti).
Buku II terdiri dari 12 bab yaitu; Bab 1 Kedaulatan Tidak Dapat Dicabut; Bab 2 Kedaulatan Tidak Dapat Dibagi; Bab 3 Apakah Kehendak Umum Bisa Salah; Bab 4 Batas Kekuasaan Berdaulat; Bab 5 Hak Hidup dan Mati; Bab 6 Hukum; Bab 7 Legislator; Bab 8 Mayarakat (Orang-orang); Bab 9 Lanjutan Bab 8; Bab 10 Lanjutan Bab 9; Bab 11 Varian Sistem Hukum; dan Bab 12 Klasifikasi Hukum.
Sementara itu, Buku III terdiri dari 18 bab yaitu; Bab 1 Pemerintah Pada Umumnya; Bab 2 Prinsip Konstitutif Dari Berbagai Bentuk Pemerintahan; Bab 3 Klasifikasi Pemerintahan; Bab 4 Demokrasi; Bab 5 Aristokrasi; Bab 6 Monarki; Bab 7 Bentuk Gabungan Pemerintahan; Bab 8 Bahwa Semua Bentuk Pemerintahan Tidak Cocok Untuk Semua Negara; Bab 9 Tanda-Tanda Pmerintahan Yang Baik; Bab 10 Penyalahgunaan Pemerintahan dan Kecenderungannya Untuk Merosot; Bab 11 Kematian Tubuh Politik; Bab 12 Bagaimana Otoritas Berdaulat Dipertahankan; Bab 13 Lanjutan Bab 12; Bab 14 Lanjutan Bab 13; Bab 15 Deputi atau Perwakilan; Bab 16 Bahwa Institusi Pemerintah Bukanlah Sebuah Kontrak; Bab 17 Institusi Pemerintah; dan Bab 18 Cara Mencegah Pemerintah Merebut Kekuasaan.
Adapun Buku IV terdiri dari 9 Bab yaitu; Bab 1 Bahwa Kehendak Umum Tidak Bisa Dihancurkan; Bab 2 Hak Pilih (Voting); Bab 3 Pemilu; Bab 4 Komite Romawi; Bab 5 The Tribunate (Mimbar); Bab 6 Kediktatoran; Bab 7 Pengadilan (Kantor) Sensor; Bab 8 Agama Sipil; dan Bab 9 Kesimpulan.
Selanjutnya, review atas buku tersebut akan diuraikan berikut ini berdasarkan gagasan-gagasan pokok Rousseau.
Review Buku I
Mengawali tulisannya di Buku I, Rousseau menegaskan keinginannya untuk menjawab pertanyaan apakah dalam tatanan masyarakat, terdapat aturan administrasi yang dapat berlaku sah dan dapat diandalkan?. Rousseau juga menegaskan bahwa kajiannya tentang politik bukan karena ia adalah seorang penguasa atau legislator. Ia mengatakan “Jika saya seorang penguasa atau legislator, Saya seharusnya tidak membuang waktu saya untuk mengatakan apa yang harus dilakukan” (Rousseau , 1968; 49). Rousseau juga menegaskan bahwa dirinya terlahir sebagai warga negara yang bebas dan menjadi anggota badan yang berdaulat.
Gagasan penting pertama dalam Buku I adalah bagaimana Rousseau memandang segala sesuatu sebagai hubungan tak terpisahkan antara manusia dengan alam. Pandangan Rousseau mengenai negara tidak terlepas dari pandangannya mengenai keluarga. Bagi Rousseau, keluarga adalah bentuk masyarakat yang paling alamiah. Hubungan antara anak dengan ayahnya adalah sejauh pihak pertama perlu pemeliharaan dari pihak kedua.
Jika kebutuhan pemeliharaan ini menghilang, tetapi pihak pertama dan kedua tetap tinggal bersama, maka bentuknya bukan alamiah lagi, melainkan sukarela dan keluarga hanya ada selama konvensi (kesukarelaan) ini tetap ada. Selanjutnya, Rousseau mengkaji apakah pemaksaan pihak yang lebih kuat terhadap yang pihak yang lemah harus dipandang sebagai sesuatu yang normal ataukah tidak?. Bagi Rousseau, hak pihak yang lebih kuat, tidak akan terus ada selama ia tidak mentransformasikan hak dan kepatuhan tersebut menjadi kewajiban. Hak dan kewajiban, bukanlah hal yang alamiah. Kepatuhan pada pihak yang lebih kuat hanya bersifat perlu, bukan berdasarkan consent (persetujuan). Dengan demikian, manusia hanya boleh patuh pada kekuasaan yang memiliki legitimasi. Masalah legitimasi ini merupakan dasar gagasan Rousseau dalam pembentukan perjanjian sosial.
Mengenai tata cara bermasyarakat, Rousseau menyodorkan konsep pakta sosial atau kontrak sosial, yang menurutnya merupakan upaya manusia untuk melahirkan kekuatan baru di dalam kesatuan antar mereka. Kesatuan ini adalah totalitas kekuatan yang lahir lewat kombinasi aneka totalitas kekuatan para individu yang diyakini mampu mengarahkan tindakan mereka. Arahan dari kesatuan dorongan ini diyakini memungkinkan mereka bertindak selaku kesatuan. Kohesi utama dalam kontrak sosial ini adalah general will.
Rousseau berpendapat bahwa tidak mungkin manusia kembali pada keadaan alamiah. Seperti dinyatakannya dengan jelas pada paragraf pertama Bab 6 Pakta Sosial (Buku I), “Maka, keadaan primitif itu tidak dapat tetap dipertahankan dan makhluk manusia akan hancur seandainya tidak mengubah cara hidupnya” (Rousseau , 1968; 59). Tesis ini sekaligus menjadi penegasan awal Rousseau dalam bukunya the Contract Social perihal keniscayaan bagi manusia untuk membangun apa yang disebutnya sebagai Societe Civile (Masyarakat Politis). Dalam hal ini, pilihannya sangat jelas: apakah memilih tetap bebas, tidak saling bergantung namun mati, atau bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis.
Keadaan alamiah menurut Rosseau adalah keadaan non-sosial ketika manusia, yang dalam banyak hal masih mirip dengan binatang, tanpa akal maupun bahasa, hidup terpisah dari sesamanya. Manusia alamiah menurut Rousseau tidak baik dan tidak buruk, tidak egois dan tidak altruis; ia hidup dengan polos dan mencintai diri secara spontan. Ia juga bebas dari segala wewenang orang lain dan karena itu secara hakiki sama kedudukannya. Menurut Rosseau, keadaan alamiah adalah keadaan pra-politis manusia, suatu keadaan di mana tidak ada otoritas politis yang sah. Melalui kontrak sosial, keadaan pra-politis itu diakhiri, dan manusia memasuki era baru yaitu era masyarakat politis, atau keadaan politis.
Terkait dengan keadaan alamiah manusia, Hobbes dan Locke sebetulnya sudah menguraikan pemikirannya tentang keadaan alamiah manusia tersebut. Tetapi berbeda dengan Rousseau, menurut Hobbes, dalam keadaan alamiah yang tidak sosial itu, manusia berada dalam situasi tidak saling percaya dan tidak saling meminati. Mereka sama-sama egois demi mempertahankan keselamatan dan memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri. Oleh karenanya, manusia tidak punya pilihan sikap terhadap sesama manusia lainnya, kecuali menjadi srigala terhadap manusia lain (homo hominilupus). Dengan demikian, keadaan alamiah menurut Hobbes merupakan situasi bellum omniuscontra omnes, perang semua lawan semua.
Sementara itu, Locke menggambarkan keadaan alamiah itu sebagai keadaan damai karena manusia memiliki akal pikiran yang menuntunnya untuk saling menghormati dalam keadaan yang sama-sama bebas dan setara.
Berpijak pada landasan filosofi yang sama tentang karakteristik manusia alamiah itu, Hobbes dan Locke menganggap bahwa manusia pada hakekatnya dilahirkan dalam keadaan bebas dan setara. Di atas landasan filosofis itulah kemudian Hobbes dan Locke membangun teorinya tentang Kontrak Sosial, sebuah Pakta dalam istilah Rousseau yang mengubah manusia dari keadaan primitif (alamiah) ke masyarakat politis (societe civile). Tetapi kemudian, Rousseau berpendapat bahwa kontrak sosial inilah yang justru membuat kepolosan alamiah manusia itu hancur berantakan. Kontrak sosial yang telah membuat manusia masuk ke dalam kesatuan masyarakat politis sebagaimana yang dikonstruksi oleh Hobbes dan Locke (dan difahami oleh Rousseau) itu justru menumbuhkan gejala baru dalam kehidupan manusia, yakni ketidaksetaraan di antara sesama manusia. Inilah yang menyebabkan Rosseau sampai pada kesimpulan bahwa ketidaksetaraan antar manusia bersumber dan disebabkan oleh masyarakat dan negara sebagaimana yang dikonstruksikan Hobbes dan Locke dalam Kontrak Sosial.
Kontrak sosial sendiri, oleh Rousseau dikonstruksikan sebagai suatu mekanisme dengan cara apa masing-masing manusia menyerahkan diri dan seluruh kekuasaan untuk kepentingan bersama, di bawah pimpinan tertinggi yaitu kehendak umum (volonte generale), dan di dalam korps politis di mana setiap orang menerima setiap anggota sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.
Di dalam Bab 8 Buku I, peralihan dari keadaan alami ke keadaan politis melalui kontrak sosial itu digambarkan oleh Rousseau sebagai berikut. Bahwa pada manusia terjadi “….penggantian naluri oleh rasa keadilan di dalam perilakunya, dan pemberian moralitas yang semula tidak ada d dalam tindakannya. Sejak saat itulah, panggilan kewajiban menggantikan impuls fisik, dan hak menggantikan keinginan. Manusia yang hingga saat itu hanya memikirkan dirinya sendiri, terpaksa bertindak berdasarkan prinsip lain dan menggunakan nalarnya sebelum mendengarkan kata hatinya. Meskipun dalam keadaan politis itu manusia kehilangan sejumlah keuntungan yang diperolehnya dari alam, ia memperoleh ganti yang begitu besar :kemampuannya terlatih dan berkembang, gagasannya meluas, wawasannya semakin dalam, dan jiwa seutuhnya menjadi demikian murni”.
Kontrak sosial berfungsi bukan antara individu-individu dengan seorang pribadi, bukan pula antara individu yang berada di bawah otoritas seorang penjamin ketiga sebagaimana tesis Hobbes, melainkan antara individu dengan kolektifitas tempat ia menjadi anggotanya. Dalam mengkonstruksi teorinya tentang kontrak sosial, Rousseau memang bertolak dari kehendak individual masing-masing orang (volonte particuliere).
Dalam konteks ini, Rousseau melihat bahwa para individu hanya mengejar kepentingan sendiri masing-masing tanpa perhatian terhadap kepentingan umum, tidak sepenuhnya benar. Dalam kehendak individu-individu itu sesungguhnya ada dua komponen, yakni : kepentingan yang memang semata-mata indivudal, dan kepentingan yang merupakan kepentingan umum. Jadi tidak ada orang yang sepenuhnya hanya bersikap egois murni. Sebaliknya, setiap orang juga menghendaki hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, misalnya perdamaian, keamanan dan keadilan.
Review Buku II
Pada Buku II ini, Rousseau berpendapat bahwa dasar dari kedaulatan suatu negara adalah general will rakyatnya. General will (kehendak bersama) menurut Rousseau, adalah satu-satunya entitas (sifatnya moral dan abstrak) yang berkuasa dalam negara, karena tujuan general will adalah kebaikan bersama (common good). General will pada fase ini kemudian menjelma menjadi konsep baru yaitu sovereignty (kedaulatan).
Kedaulatan inilah satu-satunya pelaksana general will, dan dengan demikian, karena asalnya dari general will, kedaulatan tidak bisa ditransfer atau dibagi. General will juga tidak bisa didelegasikan. Rousseau menyebut bahwa general will memberi penekanan atas kemampuan individu yang mengikatkan diri dalam kontrak sosial untuk menentukan kebaikan bersama (common good) di atas kepentingan sempit.
Di dalam masyarakat, Rousseau menyatakan bahwa kehendak bersama ini dapat muncul dengan cara mendidik warga negara guna mengisi kapasitas mereka dengan simpati bagi tujuan-tujuan bersama di atas kehendak egoistik. Bagi Rousseau, kehendak egoistik (private will) hanya akan mendorong pada terciptanya kekerasan dan ketimpangan.
Rousseau membedakan antara general will dengan will of all di mana yang terakhir adalah seluruh kepentingan individu yang merupakan penjumlahan dari seluruh kepentingan individu di dalam negara. Will of all menurutnya akan mengalami konflik dengan general will. General will dapat ditemukan dengan menanyai satu per satu warganegara mengenai apa yang dimaksud dengan kehendak bersama. Mengenai mekanismenya mungkin serupa dengan sensus, tetapi problem akan muncul manakala jumlah warganegara terlalu besar, general will versi Rousseau ini akan sulit untuk dihadirkan.
Dalam kaitannya dengan konsep Rousseau tentang kehendak umum (kehendak bersama), Rousseau berpendapat bahwa kehendak umum itu harus dibuat oleh kekuasaan yang Berdaulat (lembaga legislatif) yang merupakan instrumen tertinggi dalam negara karena ia adalah rakyat secara keseluruhan. Rousseau menolak adanya lembaga perwakilan. Menurut Rousseau, kedaulatan itu tidak dapat dibagi.
Di dalam Buku II Bab 2, Rousseau menyatakan, “Dengan alasan sama yang menyebabkan kekuasaan Berdaulat tidak mungkin dialienasi, berlaku pula alasan yang mengakibatkan kekuasaan Berdaulat itu tidak terbagi” (Rousseau , 1968; 70).
Gagasan Rousseau tentang kedaulatan tersebut merefleksikan adanya keinginan Rousseau terhadap konsep Demokrasi Langsung sebagaimana pernah dipraktikkan pada era Republik Romawi Kuno. Gagasan ini terutama dimaksudkan untuk menghindari distorsi terhadap kehendak umum rakyat yang berdaulat itu yang bisa dengan mudah muncul oleh sebab adanya asosiasi-asosiasi politik yang lebih mengedepankan pendapat dan kehendaknya pribadi.
Pada paragraf terakhir dalam Buku II Bab 3, Rousseau menulis : “Jadi, untuk benar -benar memperoleh suatu kehendak umum, perlu diusahakan agar dalam negara tidak ada pelbagai asosiasi, dan bahwa setiap warga mengeluarkan pendapat sendiri, sesuai dengan hati nuraninya” (Rousseau , 1968; 73).
Review Buku III
Pemikiran Rosseau tentang Demokrasi
Berkaitan dengan demokrasi, Rousseau menyatakan bahwa semua warga negara harus menjadi penyusun undang-undang dan sekaligus melaksanakannya. Rousseau cenderung tidak percaya apabila pihak selain warganegara diberi kepercayaan untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang. Menurut Rousseau, tidak baik jika orang yang menyusun undang-undang lalu juga menjalankannya.
Bagi Rousseau, tidak ada yang lebih bahaya ketimbang adanya pengaruh kepentingan pribadi dalam relasi publik. Rousseau menganggap korupsi kepentingan pribadi terhadap penyusunan undang-undang sebagai bahaya terbesar dalam negara. Inilah yang menjadi basis argumentasi Rosseau mengapa warga negara tidak boleh mewakilkan kepentingannya dalam penyusunan dan pelaksanaan undang-undang kepada pihak selain dirinya.
Demokrasi, menurut Rousseau, menghendaki adanya kekuasaan legislatif dan ekskekutif di satu tangan karena rakyat memerintah secara langsung, baik saat mereka menyusun undang-undang maupun saat melaksanakannya. Pemikiran Rosseau untuk menyatukan dua kekuasaan di satu tangan, meskipun tangan warga negara, membuat gagasannya tentang bentuk pemerintahan demokrasi tersebut tampak ambigu.
Menurut Rousseau, demokrasi sejati tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada karena demokrasi seperti melawan aturan alamiah bahwa mayoritas seharusnya memerintah dan minoritas diperintah. Bagi Rousseau, tidak mungkin rakyat secara terus-menerus selalu bersidang guna membicarakan masalah publik. Apabila ini terjadi, maka siapakah yang akan bertani, berdagang, mengajar, dan lain sebagainya.
Keraguan Rousseau terhadap bentuk pemerintahan demokrasi tampak dari asumsi-asumsinya mengenai empat pra kondisinya mengenai demokrasi, yaitu: pertama, negara harusnya sangat kecil sehingga rakyat mudah dirangkai tanpa kesulitan dan satu sama lain saling mengenal; kedua, tata cara mengambil keputusan bersifat sederhana untuk menghindari terlalu banyaknya persoalan dan diskusi yang bertele-tele; ketiga, harus adanya tingkat kesetaraan status dan kekayaan; dan keempat, hanya ada sedikit atau tidak sama sekali atas penguasaan kekayaan karena akan mengkorupsi mental baik si kaya maupun si miskin secara sekaligus. Karena adanya empat pra kondisi tersebut, maka bagi Rousseau, tidak ada bentuk pemerintahan yang sangat rentan memunculkan perang sipil dan gangguan internal selain Demokrasi.
Pemikiran Rousseau tentang Aristokrasi
Bentuk pemerintahan kedua yang dikaji oleh Rousseau adalah Aristokrasi. Contoh dasar Rousseau mengenai Aristokrasi adalah bagaimana pola hubungan yang terbangun. Dalam bentuk pemerintahan ini, kepala keluarga memperdebatkan hubungan publik di antara mereka dan anggota keluarga muda dapat mengikutinya tanpa kesulitan. Rousseau mencontohkan, dalam masa hidupnya, bahwa suku-suku liar di Amerika Utara masih diperintah secara Aristokratis di mana pemimpinnya umumnya disebut pendeta, tetua, senat, ataupun gerontes. Sekali lagi Rosseau menunjukkan kecenderungan pemikiran romantisnya dengan mana Aristokrasi ini mirip dengan keluarga alamiah.
Menurut Rousseau, Aristokrasi memiliki tiga watak, yaitu alamiah, elektif, dan herediter. Aristokrasi yang berwatak alamiah hanya cocok bagi masyarakat sederhana (seperti suku-suku liar di Amerika Utara). Aristokrasi yang berwatak herediter adalah yang terburuk dari seluruh bentuk pemerintahan, dan Aristokrasi yang berwatak elektif adalah yang terbaik dan dalam watak inilah Aristokrasi menemui bentuk terbaiknya.
Pemikiran Rousseau tentang Monarki
Rousseau melihat bahwa bentuk pemerintahan Monarki cocok diterapkan bagi negara yang luas wilayahnya besar. Hal ini karena dalam Monarki, kehendak rakyat, kehendak penguasa, kekuatan publik negara, kekuatan privat pemerintah, semuanya mengacu pada satu impuls (Rousseau , 1968; 117). Di dalam Monarki, seluruh kehendak dan kepentingan bercampur-baur. Demikian pula, seluruh energi yang menjalankan mekanisme negara ada di dalam satu kendali. Segala hal-hal tersebut melayani tujuan yang sama, dan tidak ada kekuatan oposisi.
Rousseau mengingatkan adanya cacat dari bentuk pemerintahan Monarki di mana mereka yang didudukkan oleh suara publik di jabatan tinggi adalah selalu mereka yang tercerahkan, yaitu mereka-mereka yang memiliki kemampuan dan selalu mengerjakan tugas-tugasnya secara terhormat. Pada sisi lain di Monarki, seseorang yang duduk kerap kali mereka yang inkompeten, tukang intrik, dan yang bakatnya agak menipu. Bagi Rousseau, mereka ini memperoleh keberhasilan duduk dalam posisinya akibat menang di pengadilan, dan mereka ini hanya melayani negara tidak lain sekadar menunjukkan ketidaklayakannya. Ketidaklayakan ini segera tampak manakala mereka duduk di jabatan publik.
Pemikiran Rousseau tentang Bentuk Pemerintahan Campuran
Menurut Rousseau, tidak ada bentuk pemerintahan yang mudah untuk diaplikasikan di dunia nyata. Kaitannya dengan kekuasaan eksekutif, seorang pemimpin tunggal harus punya bawahan, dan pemerintahan rakyat harus punya pemimpin(Rousseau , 1968; 122).
Dengan demikian, pendistribusi kekuasaan eksekutif selalu ada gradasi, yang berkisar dari jumlah besar ke jumlah kecil (baik penguasa maupun rakyatnya). Hal ini berkisar pada apakah jumlah yang besar bergantung pada yang sedikit atau yang sedikit pada yang besar.
Review Buku IV
Hak Pilih (Voting) dan Pemilu
Dalam kaitannya dengan pemilihan pejabat politik, yaitu penguasa (ruler) dan pejabat pemerintahan (administrator), menurut Rousseau pemilihan tersebut bisa didasarkan atas dua cara, yaitu dengan pemilihan (choice) dan dengan suara terbanyak (lot). Mengenai pemilihan dengan suara terbanyak, dengan mengutip Montesquieu, Rousseau menyatakannya sebagai sesuatu yang alamiah dalam Demokrasi (Rousseau , 1968; 155). Pemilihan dengan suara terbanyak inheren di dalam demokrasi karena pejabat-pejabat yang dipilih adalah untuk lebih jarang bertindak, sebab yang sering bertindak diidealkan adalah seluruh warganegara.
Menurut Rosseau, terdapat sejumlah kelemahan akibat seseorang dipilih berdasarkan suara terbanyak di dalam demokrasi sejati. Di dalam demokrasi sejati segala sesuatunya bersifat setara, tidak hanya dalam hal standar kemampuan dan moral, tetapi juga prinsip-prinsip politik dan kesejahteraan, dan dengan demikian pemilihan dengan suara terbanyak ini merupakan pengabaian atas kemampuan warganegara lainnya. Dalam perspektif pemikiran Rousseau, tidak ada negara demokrasi sejati di dunia.
Rousseau mencoba membandingkan metode pemilihan dengan suara terbanyak. Menurutnya, metode pemilihan lebih cocok diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan yang memerlukan kemampuan khusus seperti jabatan kemiliteran, sementara suara terbanyak lebih cocok diterapkan apabila dibutuhkan syarat seperti pengertian bersama, kesetaraan, dan integritas karena syarat-syarat seperti ini telah ada di diri setiap warganegara.
Agama Sipil
Selanjutnya, pada bagian akhir Buku IV (Bab 8), Rousseau membahasa tentang Agama Sipil. Rousseau mencoba menguraikan isu tentang Agama Sipil dalam kaitannya dengan negara. Dalam konteks relasi negara-agama tersebut, Rousseau tidak setuju dengan pemisahan antara agama dengan kekuasaan politik.
Rousseau kemudian menguraikan tiga jenis karakteristik agama. Pertama, agama yang bersifat individual, yang semata-mata hanya berurusan dengan ibadah ritual berupa pemujaan terhadap Tuhan. Kedua, agama sosial yang dianut oleh seluruh rakyat. Penganut agama ini menyembah Tuhan dari bangsanya sendiri. Ketiga, agama yang mengajarkan kepatuhan dan loyalitas ganda, yakni kepada dua undang-undang, dua tanah air dan dua kewajiban. Jenis agama ketiga inilah yang menurut Rousseau paling aneh (Rousseau , 1968; 184).
Dalam kerangka relasi negara-agama, semua jenis agama tersebut buruk dalam pandangan Rousseau. Yang pertama buruk karena agama jenis ini bertentangan dengan jiwa sosial dan menjauhkan penganutnya dari kehidupan politik sebagai warga negara. Yang kedua buruk karena agama jenis ini mempersatukan pemujaan Tuhan dengan kecintaan kepada undang-undang. Yang ketiga paling buruk karena agama jenis mengajarkan rakyat untuk setia dan patuh pada agama dan negara sekaligus .
Oleh karena semua jenis agama itu buruk dalam pandangan Rousseau, maka ia menyarankan varian keempat agama yang disebutnya sebagai Agama Sipil (La Religion Civile). Menurut Rousseau, agama sipil adalah agama yang dapat membangkitkan spirit bersama warga negara sekaligus menjadi inspirasi bersama untuk membangun kebaikan-kebaikan kolektif, dan tidak mempersoalkan bentuk keyakinan teologis dari masing-masing agama.
Meski tidak secara eksplisit, Rousseau melihat gagasannya tentang agama sipil ini penting untuk “mendidik dan menyadarkan” terutama kaum minoritas tadi agar mereka secara sadar dan sukarela masuk ke dalam kehendak bersama, menyesuaikan diri dengan kehendak umum, dan tidak menjadi para penyimpang yang akan mengganggu kemurnian kehendak bersama itu.
Uraian Rousseau tentang Agama Sipil sangat erat kaitannya dengan masalah minoritas. Dalam prinsip totalitarisme negara Rousseau, terdapat implikasi atas penyikapan negara atau kehendak umum yang cenderung negatif bagi keberadaan kaum minoritas. Dalam hal ini, minoritas adalah individu-individu yang sangat mungkin tidak sependapat dengan suara mayoritas dalam urusan-urusan publik.
Menurut Rousseau, gejala ini tidak boleh dibiarkan terjadi untuk menjamin terjaganya kemurnian kehendak bersama atau kepentingan umum itu. Jika terjadi, dan ini sangat mungkin dan lumrah dalam masyarakat plural, kaum minoritas harus dipaksa untuk mengikuti kehendak bersama atau kehendak mayoritas. Caranya adalah dengan “mendidik” minoritas sedemikian rupa sehingga mereka bisa menerima kehendak bersama.
Jika individu-individu itu tetap membangkang, prinsip totalitarisme Rousseau membuka kemungkinan bagi tindakan paksa oleh negara. Bahkan jika diperlukan, negara bisa mengambil tindakan hingga batas yang paling mengerikan yaitu pengusiran atau penyingkiran.
Catatan Kritis Atas Tulisan Rousseau
Catatan Kritis Pertama
Sama seperti Hobbes dan Locke, teori kontrak sosial Rousseau juga dibangun di atas asumsi adanya state of nature (keadaan alamiah) yang dialami oleh manusia. Ketiga pemikir tersebut sependapat bahwa dalam keadaan alamiah itu manusia memiliki kebebasan dan kesetaraan antara satu dengan lainnya.
Yang membedakan mereka adalah menyangkut soal karakeristik sifat manusia alamiah tersebut. Perbedaan pandangan ini kelak melahirkan produk bentuk negara dan kekuasan (pemerintahan) dari kontrak sosial yang juga berbeda. Jika pemikiran-pemikiran Hobbes melahirkan negara totaliter yang heteronom, dan Locke melahirkan faham negara liberal; maka Rousseau melahirkan faham negara republik yang cenderung totaliter.
Dalam menyusun kontrak sosial, kita bisa memahami bahwa Rousseau dihadapkan pada suatu kondisi dilematis. Di satu sisi, proses pemasyarakatan manusia ke dalam masyarakat politis itu menghasilkan suatu keadaan di mana manusia menjadi kehilangan kebebasan, kesetaraan dan kepolosan alamiahnya. Sementara di sisi lain, jika tidak bermasyarakat, manusia akan mengalami kepunahan karena saling membunuh seperti srigala, atau akan membiarkan kebebasannya dirampas dan menjerumuskannya pada situasi perbudakan tanpa dasar moral dan etik.
Jawaban Rousseau terhadap kondisi dilematis itu adalah Kontrak Sosial. Di dalam bukunya tersebut, Rousseau bukan hanya mengkaji ulang (dalam versi pikirannya) perihal esensi kontrak sosial; pengandaian dan implikasi-implikasi teoritiknya, tetapi juga berusaha menunjukkan bagaimana negara seharusnya dibentuk dan kekuasaannya diselenggarakan agar manusia tetap bebas, setara dan alamiah namun dengan situasi alamiah baru dalam masyarakat politis. Dalam situasi naturalitas baru tersebut, individu-individu yang menyatu dalam keseluruhan, bertanggung jawab bersama atas kepentingan dan kebutuhan bersama
Catatan Kritis Kedua
Pemikiran-pemikiran Rousseau tentang kedaulatan rakyat cenderung melahirkan paradoks. Di satu sisi ia menghadirkan bentuk Republik sebagai pilihan yang paling sah dalam membangun sistem politik dan bernegara. Tetapi pada saat yang sama, Republik yang esensinya adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk mengurus rakyat secara keseluruhan justru kemudian menjelma menjadi sebuah kekuasaan yang totaliter.
Di bawah rezim totaliter, rakyat praktis menjadi pihak yang tertindas dan diperlakukan sewenang-wenang sebagaimana terbukti dalam perjalanan peradaban politik umat manusia setelah Rousseau. Konsep totalitarianisme pada umumnya mengacu pada sistem politik kekuasaan yang bersifat absolut atau disebut sebagai ‘total state’. Konsep totalitarianisme berkembang seiring berakhirnya perang dunia ke-dua. Perkembangan konsep pada pasca perang dunia ke-dua memberikan sudut pandang yang lebih spesifik. Konsep totalitarianisme memberikan penekanan lebih terhadap sistem dan struktural negara yang disebut sebagai sistem dengan dominasi total. Ridgewell (1970:20) mengutip definisi dari Wolfe menyatakan “the totalitarian state is designly total, in that it becomes coextensive with the society itself”.
Kecenderungan terjadinya kekuasaan totalitarianisme tersebut bisa kita pahami dari konsekuensi pemikiran-pemikiran Rousseau tentang kedaulatan rakyat. Bagi Rousseau, kedaulatan rakyat itu melahirkan dua implikasi yang ujungnya seperti saling menegasikan. Di satu sisi, kedaulatan rakyat merefleksikan adanya penolakan terhadap segala wewenang di atas rakyat yang bukan berasal dari rakyat, tetapi di sisi lain, muncul suatu keharusan agar segala kekuasaan yang ada harus identik dengan kehendak rakyat.
Penolakan terhadap segala wewenang di atas rakyat yang bukan berasal dari rakyat tentu bukanlah persoalan, karena begitulah sejatinya dasar faham republikan. Yang menjadi persoalan adalah tesis bahwa “kekuasaan harus identik dengan kehendak rakyat”. Dalam konteks ini, tentu terjadi proses identifikasi total antara kehendak rakyat dengan kehendak negara. Individu, bahkan rakyat secara keseluruhan secara total masuk ke dalam negara. Pada titik inilah, Rousseau secara tidak langsung telah menganjurkan faham totalitarisme negara sebagaimana uraiannya pada Bab 6 Pakta Sosial (Buku I). Dalam uraiannya tersebut, warga negara melakukan alienasi total kepada masyarakat dan masing-masing mengalienasi diri tanpa syarat sehingga kondisinya menjadi sama bagi semua. Karena kondisinya sama bagi semua, maka tak seorangpun berkepentingan untuk membuatnya menyusahkan orang lain(Rousseau , 1968; 60).
Faham kedaulatan rakyat total (totalitarisme negara) tersebut membawa konsekuensi tersendiri pada pada struktur kekuasaan negara. Karena negara pada hakekatnya adalah rakyat itu sendiri, maka gagasan melindungi rakyat dari negara menurut Rousseau menjadi tidak masuk akal. Dalam konteks ini, manusia tidak perlu dilindungi dari kemungkinan ancaman yang berasal dari dirinya sendiri (negara). Di sinilah problemnya karena instrumen-instrumen kelembagaan yang berfungsi untuk melindungi rakyat sebagaimana lazim terdapat di negara-negara demokrasi, menjadi tidak relevan dalam pikiran Rousseau.
Konsekuensinya, konstitusi sebagai hukum dasar yang berfungsi membatasi kekuasaan sekaligus melindungi rakyat dari negara menjadi tidak diperlukan. Yang dibutuhkan hanyalah undang-undang, yang tidak lain merupakan perwujudan kehendak bersama dari kekuasaan berdaulat (lembaga legislatif yang tidak lain merupakan rakyat secara keseluruhan).
Dalam realitasnya, negara-negara yang secara formal mengklaim sebagai negara demokrasi dan berdiri kokoh di atas konstitusi pun masih banyak yang melakukan praktik-praktik penyelewengan terhadap kekuasaan. Begitu juga perlakuan negara terhadap rakyatnya yang tidak adil. Apalagi, sebuah negara yang sejak awal dirancang sebagai negara totaliter dan tanpa konstitusi. Sulit dipercaya bahwa kekuasaan negara tersebut akan melahirkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan dan perlindungan bagi rakyatnya.
Catatan Kritis Ketiga
Gagasan Rousseau tentang kedaulatan dan kehendak umum (general will) yang cenderung menghendaki konsep demokrasi langsung tentu akan dihadapkan pada realitas historis negara-negara yang mempraktekkan demokrasi. Negara kecil Singapore yang pada tahun 1965 menyatakan diri sebagai negara independen dengan nama resmi Republic of Singapore, jumlah penduduknya saat itu 1,8 juta. Kini, negara yang dikenal oleh masyarakat dunia sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi parlementer tersebut, jumlah penduduknya berkisar 5,5 juta orang (2021).
Pertumbuhan dan perkembangan dari demografi suatu negara tentu berimplikasi pada kompleksitas pelaksanaan demokrasi, apalagi demokrasi langsung model Rousseau. Belum lagi negara-negara dengan jumlah penduduk besar yang tentu mengalami kompleksitas dalam pelaksanaan demokrasi nya baik dari sisi regulasi, kelembagaan politik maupun pelaksanaan dari prosedur-prosedur formal demokrasi seperti pemilihan umum.
Demokrasi langsung dalam konstruksi pemikiran Rousseau, di mana seluruh rakyat menjadi legislator yang membahas dan merumuskan undang-undang secara bersama, mendiskusikan urusan dan kepentingan umum bersama-sama jelas sulit untuk dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Rousseau, J.J. (1968). The Social Contract. Baltimore, MD: Penguin
Ridgewell, Colin Anthony. (1970). The “Popular” Concept of Totalitarianism. Tesis Master. Canada: Faculty of Arts, Simon Fraser University.
0 Comments