Gowes Di Era Pandemi; Potret Hyper Reality dan Pop Culture Masyarakat Urban

Yusak Farchan
Pengamat Politik Citra Institute; Peminat Kajian Sosiologi

Tren bersepeda (cycling) atau populer dengan istilah gowes mengalami pasang surut dan dinamika menarik di tanah air. Sejak muncul di Hindia Belanda awal abad ke-20, selain digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, running machine yang ditemukan pada 1817 oleh Baron Karl Drais von Sauerbronn ini juga digunakan oleh para misionaris dan saudagar kaya. Catatan ini setidaknya terekam dalam Pit Onthel, monograf karya Hermanu.

Pada era 1920-an, nilai dan performa sepeda menurun ketika kendaraan bermotor masuk Hindia Belanda. Sepeda yang awalnya berharga mahal dan menjadi simbol prestige kelompok elite berubah menjadi milik orang banyak.

Era 1960-an adalah fase di mana pesepeda terakhir kali menguasai jalanan. Penulis buku Jakarta 1970-an, Firman Lubis menyebut dekade 1970-an sebagai era menghilangnya pesepeda karena maraknya kendaraan bermotor. Keselamatan pengendara sepeda di jalan raya menjadi faktor utama.

Pada akhir dekade 1980-an, minat bersepeda muncul kembali. Fase ini ditandai dengan kepemilikan sepeda oleh kelas sosial atas. Kondisi ini mirip dengan situasi awal kehadiran sepeda di era kolonial Hindia Belanda. Kelompok elite yang menguasai sumber daya ekonomi ini mampu membeli sepeda yang harganya mahal, bahkan bisa melampaui harga kendaraan bermotor. Fungsi dasar sebagai alat transportasi tidak terlalu dominan karena sepeda hanya sebatas simbol prestige bahkan menjadi media lobby urusan bisnis.

Memasuki era 2000-an, komunitas pesepeda bermunculan, ditandai dengan fenomena bike to work dan bike to campoes di Jakarta dan Depok. Mereka menggunakan sepeda sebagai alat transportasi harian dan menuntut pemerintah menyediakan fasilitas pendukung seperti lajur khusus dan parkir untuk sepeda.

Kini, di era pandemi virus corona, sepeda menemukan kembali momentum emas-nya untuk bangkit, menandai periode bike boom (setidaknya mini boom) khususnya di kawasan perkotaan. Sepeda karbon tampak menguasai arena road cycling. Fleksibilitas materialnya lebih mudah diterima pasar dibanding para pesaingnya yang berbahan frame alloy alias aluminium ataupun bahan steel yang berkarakter klasik, serta titanium yang juga punya tempat khusus dan dikenal super kuat dan ringan.

Olah raga bersepeda semakin disukai banyak orang karena dianggap menjadi bagian dari gaya hidup sehat. Pada saat weekend, komunitas-komunitas sepeda banyak menguasai ruang-ruang publik di perkotaan seperti jalan raya dan taman-taman kota. Bahkan ruang publik saat car free day pun diserbu komunitas sepeda. Permintaan pasar produk sepeda meningkat signifikan karena barang komoditas yang punya sejarah panjang ini diburu konsumen.

Secara umum setidaknya terdapat tiga jenis sepeda yang digandrungi masyarakat. Pertama, jenis road bike, yang didesain untuk jalanan aspal, on road dan memiliki bobot sepeda yang lebih ringan. Kedua, mountain bike, yang didesain dapat dikendarai di medan off road atau menjelajah medan cross country. Ketiga, folding bike, sepeda lipat yang praktis dan inovatif bagi yang bermobilitas tinggi.

Tak cukup dengan desain inovatif, cycling juga dilengkapi dengan aksesoris pelindung seperti helm, body protector, spion-mirror, reflector, gloves, dan kacamata serta botol minum bagi cyclist yang membuat sepeda menjadi lambang prestige masyarakat urban.

Tingginya permintaan pasar turut melambungkan harga sepeda. Dengan range harga satu juta hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah, produk sepeda praktis menjadi barang komoditas yang sulit diakses kelas miskin perkotaan.

Kajian ini berusaha memahami dan mengidentifikasi fenomena bike boom dan tren gowes (cycling) pada masyarakat urban yang mengalami pertumbuhan signifikan terutama di era pandemi covid-19. Dalam perkembangan kontemporer, fungsi dasar sepeda sebagai alat transportasi, diakui atau tidak menjadi semakin “kabur”, tenggelam dalam fungsi lain yang sengaja didesain oleh jaringan industri budaya dan industri kreatif sebagai simbol, identitas, lifestyle dan representasi kelas sosial ekonomi masyarakat urban.

Dengan menggunakan perspektif teori-teori sosial kritis, kajian ini berusaha memotret tren cycling dalam kaitannya dengan terbentuknya hyper reality serta kecenderungan menggeliatnya pop culture dalam masyarakat post-modernis.

Hyper Reality Dalam Tren Cycling

Di era post-modernisme (yang dilanjutkan dengan fase masyarakat informasi saat ini), tren cycling menyuguhkan fenomena lain yaitu terbentuknya hiper realitas (hyper reality); sebuah realitas yang melampaui realitas aslinya. Hiper realitas yang dipopulerkan Jean Baudrillard ini merupakan sebuah realitas artifisial, yang tercipta lewat tangan-tangan teknologi simulasi dan sentuhan rekayasa pencitraan. Hiper realitas mengambil alih dunia realitas alami, dan melampaui realitas objektif. Dalam konteks ini terjadi pelipatgandaan dan penggembungan atas realitas yang sebenarnya.

Baudrillard (1983) menggunakan istilah simulasi dan simulacra dalam menjelaskan konsep hiper realitas. Menurut Baudrillard, simulasi adalah keadaan di mana representasi atau gambaran dari sebuah objek menjadi lebih penting dari pada objek itu sendiri. Sementara itu, simulacra adalah sebuah duplikasi yang sebenarnya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta menjadi kabur.

Sepanjang sejarah peradaban masyarakat, kehidupan sosial pada era pra modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange). Sementara itu, era modern (industrial) dicirikan dengan logika produksi. Adapun era post-modernisme saat ini, ditandai dengan logika simulasi. Dalam dunia simulasi, antara fakta dan citra tidak lagi bisa dibedakan; keduanya saling menumpuk dan berjalin berkelindan membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan (Piliang, 2006).

Salah satu faktor penting yang menyebabkan tren cycling menjadi booming adalah berhasilnya jejaring kerja industri budaya untuk mereproduksi makna-makna simbolik, citra dan realitas yang melampaui realitas alamiahnya. Branding sepeda sebagai simbol prestige masyarakat urban dikonstruksikan sedemikian rupa melalui arena simulasi. Representasi atau gambaran sepeda yang ditampilkan menjadi lebih penting dari sepeda itu sendiri. Gambaran cyclist lebih penting dari cyclist itu sendiri, dan gambaran komunitas sepeda lebih penting dari komunitas sepeda itu sendiri.

Pada komunitas sepeda, kita bisa melihat bagaimana realitas buatan (artificial reality) itu tampak hadir dan diproduksi seakan-akan (as if) menjadi realitas yang sesungguhnya. Artificial reality itu tampak misalnya pada simulasi atau citra bahwa komunitas cycling itu lebih peduli lingkungan dari yang peduli lingkungan; cycling lebih sehat dari yang sehat; cycling lebih gaul dari yang gaul; cycling lebih imun terhadap covid dari yang imun covid; dan olahraga sepeda lebih prestisius dari yang prestisius.

Begitu juga dengan citra pesepeda (cyclist) yang dikonstruksikan melebihi realitas aslinya. Dengan simulasi dan rekayasa pencitraan, cyclist tampak lebih bergaya hidup sehat dari yang bergaya hidup sehat; cyclist dari kalangan ladies lebih cantik dari yang cantik dan lebih sexy dari yang sexy. Cyclist pria lebih trendi dari yang trendi; jersey cyclist pria lebih gagah dan slim dari yang gagah dan slim, gowes kece lebih keren dari yang keren, dan seterusnya.

Makna superlatif tersebut dibangun sedemikian rupa oleh jejaring industri budaya melalui perangkat-perangkat teknologi informasi dan komunikasi seperti social media sehingga semakin menarik minat masyarakat untuk bersepeda. Fenomena bike boom selain didorong oleh perilaku konsumeristik masyarakat urban, juga didorong oleh bekerjanya agen-agen kapitalisme global seperti perbankan dan institusi jasa keuangan lainnya dalam mempermudah akses pembiayaan melalui fasilitas-fasilitas kredit kepemilikan sepeda.

Inilah hiper realitas, kondisi di mana rekayasa bersenyawa dengan fakta. Iklan adalah instrumen penting dalam kerja-kerja sistemik kapitalisme global; bagaimana mengelola second reality yang sangat distortif tersebut seakan-akan (as if) menjadi realitas yang sebenarnya. Provokasi iklan yang sangat agresif terutama di ruang publik virtual semakin membius alam bawah sadar masyarakat bahwa cycling bukan sekedar olahraga biasa. Cycling adalah simbol gengsi dan prestige kelas menengah atas.

Jika diperhatikan, tidak sedikit komunitas gowes yang mengambil rute di mana start dan finish mengambil titik yang secara simbolik merepresentasikan simbol-simbol modernitas seperti mall dan cafe. “Start dari Senayan City, dan finish di sebuah cafe elite untuk nongkrong gaul” sering kita kita jumpai dalam rute beberapa komunitas sepeda. Atau dalam rute long ride misalnya, start dari mall elite di bilangan Jakarta, dan finish di restoran-restoran elite di kawasan Puncak, yang sengaja dipilih sebagai lambang prestige para cyclists.

Jika hari Minggu tiba, coffe ride menjadi pilihan dan budaya populer sejumlah komunitas sepeda untuk “nongki-nongki cantik” di cafe; sebuah ekspresi dinamis masyarakat urban yang lebih merefleksikan pentingnya aktifitas “kongkow bareng” dari pada olahraga itu sendiri, meskipun memang sedang tanpa jersey dan sepeda.

Gaya “gowes cantik” cyclist dari kalangan ladies yang dipercantik dengan foto-foto selfie semakin meneguhkan terbentuknya hiper realitas; sebuah kecenderungan untuk selalu menampilkan yang terbaik, melebihi realitas yang sebenarnya. Swafoto para cyclists di spot-spot yang instagrammable merupakan bentuk social presence sekaligus sarana pembentukan identitas dan eksistensi komunitas cycling terutama di ruang-ruang publik virtual. Gowes cantik kalangan ladies tampak lebih merefleksikan gaya dibanding olahraga gowes itu sendiri.

Dalam konteks ini kita bisa melihat bahwa perilaku narsisme digital dari komunitas cycling adalah bagian dari cara untuk mengelola jaringan pertemanan dan interaksi sosial di socmed yang turut mempengaruhi terbentuknya digital habit sebagai kecenderungan umum yang terjadi pada masyarakat di abad informasi.

Gathering off saddle yang sering digelar antar anggota komunitas sepeda dalam bentuk karaoke, lunch, atau dinner bersama juga mengkonstruksikan realitas artifisial. Interaksi sosial yang intens antar anggota komunitas cycling tampak didorong oleh keinginan agar diakui eksistensinya oleh publik sebagai komunitas yang “lebih akrab dari yang akrab; dan lebih bersahabat dari yang bersahabat”.

Gambaran citra yang disimulasikan dan diimajinasikan secara sistemik melalui rekayasa-rekayasa teknologi informasi dan teknologi komunikasi ke dalam alam bawah sadar individu, semakin menjadikan gowes digandrungi masyarakat urban. Bersepeda seakan-akan menjadi basic need, padahal motivasi dasar yang melatarinya seringkali lebih didominasi oleh hasrat atau keinginan yang menjadi ciri dari consuming class masyarakat post-modernis.

Fenomena Pop Culture Dalam Era Bike Boom

Dalam memahami pertumbuhan komunitas gowes di masyarakat urban, teori-teori sosial kritis (critical theory) sangat relevan dijadikan pisau analisa untuk membedah tren cycling, terutama dalam kaitannya dengan industri budaya (culture industry) dan perilaku konsumeristik masyarakat perkotaan di era post-modern.

Beberapa teoritikus kritis dari Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse setidaknya telah meletakkan kerangka teoritik yang sangat fundamental dalam melihat dampak yang ditimbulkan oleh kekuatan kapitalisme global yang dalam perkembangannya bermetamorphose menghasilkan produk-produk budaya populer.

Meneruskan Marxisme sebagai peletak dasar filsafat kritis, Mazhab Frankfurt meyakini bahwa dalam masyarakat industrial yang didominasi oleh kekuatan kapitalisme, konsumsi produk-produk budaya umumnya tidak didorong oleh kebutuhan (need), tetapi karena keinginan memenuhi hasrat yang didesain oleh daya pikat dan pesona budaya populer.

Keinginan individu untuk bersepeda atau membentuk (bergabung) dengan komunitas sepeda dalam masyarakat informasi saat ini, tidak sepenuhnya didorong oleh faktor kebutuhan (need), melainkan juga didorong oleh keinginan memenuhi hasrat akibat pesona budaya populer. Daya tarik produk-produk budaya populer tersebut sengaja didesain sedemikian rupa oleh kekuatan industri budaya. Setali tiga uang, industri kreatif juga turut bekerja secara agresif membentuk dan memperluas pangsa pasar dari menggeliatnya industri budaya di tanah air.

Tren bersepeda yang terus tumbuh terutama di era pandemi, pada akhirnya tidak lagi murni didorong oleh motif tunggal yaitu berolahraga (hidup sehat), tetapi juga berkaitan dengan dorongan gaya hidup (lifestyle), citra dan prestige masyarakat urban. Membeli sepeda bagi kelas menengah atas bukan sebatas membeli produk, tetapi membeli makna-makna simbolik (symbolic meaning) yang tersembunyi dibalik produk tersebut.

Gowes dalam masyarakat informasi, tidak hanya berkaitan dengan sarana transportasi, isu-isu kesehatan dan ekologi sebagaimana terjadi pada fase awal pertumbuhan sepeda, tetapi juga berkaitan dengan produk industri budaya. Di tangan industri budaya, gowes telah bergeser menjadi budaya populer yang mengekspresikan citra, lifestyle sekaligus meneguhkan struktur lapisan kelas sosial masyarakat.

Secara genealogis, istilah industri budaya (culture industry) berasal dari studi yang dilakukan Frankfurt School pada periode 1930-1940. Industri budaya menggambarkan bentuk produksi dan konsumsi budaya yang memiliki simbol dan elemen ekspresif. Culture industry mencakup antara lain musik, seni, tulisan, fesyen, dan desain dan dalam perkembangannya mencakup dimensi yang lebih luas.

Dalam konteks pembentukan citra, jejaring industri budaya setidaknya telah berhasil mengangkat image culture cycling sebagai basic needs masyarakat urban. Kekuatan industri budaya tampaknya sangat jeli melihat momentum di mana era pandemi covid-19 adalah “ruang baru” yang dapat didesain sebagai arena perebutan pasar komersial sepeda.

Merujuk pada basis teoritik Adorno dan Horkheimer dalam The Culture Industry (1944), produksi budaya ditandai oleh beberapa karakteristik, yaitu standarisasi, massifikasi dan komodifikasi. Dengan pendekatan konsep industri budaya, Adorno ingin menegaskan bahwa budaya yang diproduksi secara massif dan standar sesungguhnya bukanlah eskpresi natural masyarakat umum, tetapi bagian dari produk industri. Sepeda dalam konteks industri budaya, tetaplah barang komoditas yang diorientasikan untuk menghasilkan profit berlipat melalui tangan-tangan inovatif dan saluran-saluran hasrat (channel of desire) seperti iklan.

Sementara itu, di sisi lain, jangkar-jangkar industri kreatif juga tidak ingin ketinggalan dan bekerja agresif menunggangi “momentum emas” pandemi tersebut dengan membombardir alam bawah sadar masyarakat tentang kebutuhan bersepeda sebagai ciri masyarakat urban.

Agen-agen industri kreatif tampak lihai dalam membangkitkan “kesadaran” publik untuk bersepeda dengan memanfaatkan kanal-kanal teknologi informasi sebagai media promosi utama. Iklan-iklan komersial sepeda yang dibalut dengan kampanye hidup sehat, transportasi ramah lingkungan tampak bertebaran di ruang-ruang publik virtual seperti internet, social media maupun situs-situs komersial lainnya. Isu-isu ekologi dan kesehatan menjadi stimulus dan pemantik utama dalam proses agitasi dan komersialisasi sepeda.

Creative industry yang secara konsepsional lebih spesifik dari creative economy, memiliki makna produksi yang lebih mendalam, termasuk barang dan jasa, yang diciptakan oleh industri budaya dengan menitikberatkan pada inovasi. Dewasa ini, industri kreatif memang dianggap sangat menjanjikan. Di tengah kecemasan dan ketidakpastian ekonomi global, sektor industri kreatif dinilai prospektif dan berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan. Sumbangan ekonomi kreatif terhadap PDB pada 2019 mencapai Rp 1.105 triliun, dan pada 2020 diperkirakan mencapai Rp. 1.300 triliun.

Industri kreatif adalah industri yang menjual barang, jasa, dan skema pengelolaan yang input pokoknya adalah kreativitas manusia. Makna kreativitas bergantung pada bidangnya masing-masing yang terdiri dari kreativitas ekonomi, kreativitas kultural, kreativitas ilmiah dan kreativitas teknologi (UN Creative Report; 2010).

Dalam konteks sepeda sebagai bagian dari ekosistem industri kreatif (kategori desain produk), kita bisa menemukan unsur kreativitas tersebut setidaknya pada kreativitas kultural, merujuk pada kapasitas pengembangan makna-makna simbolik sepeda dan komunitas cycling; dan juga kreatifitas ekonomi, merujuk pada kemampuan pengelolaan produksi untuk menghasilkan keuntungan komparatif dari komersialisasi sepeda.

Kreuz, produsen sepeda asal Kota Bandung misalnya, berusaha mengkombinasikan kreativitas kultural dan kreativitas ekonomi melalui inovasi dan spesialisasi produk. Sepeda Kreuz yang inspirasi desainnya berasal dari bentuk sepeda lipat Brompton, saat ini banyak digandrungi masyarakat. Sejak dijual terbuka pada masa awal munculnya pandemi Covid-19, sepeda berbasis local content ini menarik minat dan atensi publik. Lelang sepeda di media sosial Facebook misalnya, selalu ludes dalam waktu singkat. Untuk mendapatkan sepeda yang diinginkan, masyarakat bahkan rela melakukan pemesanan dan pembayaran di awal alias inden.

Sepeda handmade rasa Brompton ini hadir melalui sentuhan inovasi dan kreativitas desain serta teknologi yang telah disesuaikan dengan medan jalan di Indonesia, khususnya Kota Bandung. Harganya pun jauh di bawah pasaran Brompton. Keterlibatan 34 UMKM dalam produksi sepeda “berkualitas Inggris, berharga China” ini setidaknya merupakan titik balik bangkitnya sektor ekonomi lokal yang mati suri akibat pandemi global.

Dalam konteks gaya hidup, komunitas cycling dianggap merepresentasikan sebuah lifestyle masyarakat urban yang dinamis, peduli hidup sehat dan sensitif terhadap isu-isu ekologi. Lifestyle dalam konteks ini tentu bukanlah way of life yang biasa melekat dalam norma, adat istiadat, tradisi, ritual dan pola-pola tatanan sosial dalam masyarakat, tetapi merupakan ekspresi aktif individu atau komunitas yang dikolektifkan menjadi perilaku dan budaya komunal dalam rangka membangun identitas dan eksistensi dalam masyarakat.

Pada sisi lain, gaya hidup komunitas cycling yang ingin ditegaskan adalah adanya solidarity di antara anggota kelompoknya. Doyle Paul Johnson (1994) menjelaskan bahwa solidaritas adalah suatu hubungan antara individu dan atau kelompok berbasis moral dan kepercayaan yang dianut bersama, serta pengalaman emosional bersama. Tesis dasar teori solidaritas sebagaimana dipopulerkan sosiolog klasik Emile Durkheim adalah posisi individu dalam lingkarangan sosial-nya (social meliu) membentuk tingkah laku dan identitas sosialnya (Dobbin, 2007).

Lebih spesifik lagi, meminjam istilah Durkheim, solidaritas yang terdapat dalam komunitas cycling merupakan jenis solidaritas organik, yang ditandai dengan jaringan sosial yang lebih kompleks sebagaimana lazim terjadi pada masyarakat urban. Individu-individu yang terhimpun dalam komunitas cycling diikat oleh sebuah jaringan sosial dan memiliki peran yang berbeda-beda. Komunitas sepeda adalah jaringan sosial yang memberi energi positif anggotanya dalam bertingkah laku dan meneguhkan identitasnya.

Dalam konteks representasi basis sosial ekonomi, komunitas cycling yang tumbuh subur di era pandemi merepresentasikan kelas sosial menengah atas (upper-middle class) yang secara ekonomi memiliki akses terhadap produk-produk sepeda. Sebagai consuming class, kelompok upper-middle class ini memiliki daya beli terhadap produk-produk sepeda baik lokal maupun asing (branded). Produk-produk sepeda yang banyak digunakan oleh komunitas cycling bukanlah komoditas barang murah yang bisa diakses oleh semua lapisan kelas sosial masyarakat. Hanya kelas sosial menengah atas yang mampu membeli sepeda karena memiliki discretionary income ataupun disposable income yang besar.

Arena Pertarungan Simbol dan Identitas Kelas

Yang cukup menarik dari tren berkembangnya komunitas sepeda ini adalah terjadinya pertarungan kelas sosial dalam perebutan ruang-ruang publik yang tersedia. Pada masyarakat urban, ruang publik seperti taman kota dan jalan raya menjadi arena kontestasi identitas kelas sosial yang kerapkali dimenangkan oleh lapisan sosial menengah atas. Dominasi komunitas cycling terutama pada saat weekend di berbagai ruang publik adalah potret bagaimana lapisan sosial menengah atas sebenarnya sedang ingin meneguhkan eksistensinya dalam arena perebutan simbol dan identitas di ruang-ruang publik tersebut.

Uniknya, dalam situasi normal (non pandemi), kelas menengah atas ini juga yang mendominasi ruang-ruang publik seperti jalan raya melalui kendaraan roda empat (mobil-mobil pribadi). Ruang-ruang publik yang tersedia pada hakikatnya tetap saja dikuasai dan didominasi oleh lapisan consuming class yang memiliki akses terhadap kepemilikan barang-barang komoditas hasil produksi sistem kapitalisme global. Kondisi ini sekaligus meneguhkan karakter dasar kelas menengah atas yang selalu ingin dominan dalam merebut dan menguasai ruang-ruang publik.

Prasyarat dasar ruang publik yang demokratis, sebagaimana diidealkan Jurgen Habermas (1989) hingga kini masih sulit direalisasikan karena adanya ketidakadilan sosial. Dalam konteks ini, negara dan local government mestinya hadir untuk melayani semua lapisan kelas sosial masyarakat secara berkeadilan. Sejauh ini, jaringan-jaringan industri budaya, ekosistem creative industry, korporasi dan jangkar-jangkar kapitalisme global hanya tampak bekerja untuk melayani kelas menengah atas masyarakat perkotaan.

Sementara itu, kelompok miskin perkotaan berada dalam posisi tersisih (marginal) dan hanya dapat menikmati ruang-ruang publik tanpa prestige, citra dan ruang yang proporsional. Moral campaign seperti “peduli lingkungan, peduli hidup sehat” yang dicitrakan dalam komunitas cycling, pada titik tertentu sebenarnya hanya merupakan kamuflase dari bekerjanya jaringan industri budaya dan industri kreatif. Tujuannya agar ruang-ruang publik yang tersedia seperti taman kota dan jalan raya, dapat dibanjiri produk-produk industri dan teknologi termasuk produk sepeda modern dengan segala inovasinya yang hanya bisa diakses kelas menengah atas.

Dalam konteks ini, nalar kritis kita sebenarnya ingin mengatakan; gaya hidup sehat tidak harus mahal. “Peduli lingkungan” tidak boleh bergantung hanya pada keinginan hasrat dan momentum tertentu, melainkan bertumpu pada self-awareness yang tulus. Menjaga imunitas tubuh tidak harus bersepeda, tapi bisa dengan olahraga lari, sebuah cabang olahraga populis yang “murah meriah”, tidak beresiko tinggi dan tidak memerlukan sumber daya kapital berlebih untuk melakukannya.

Fenomena sejumlah cyclists di Semarang yang memasuki kafe dengan sepeda yang belum dilipat dan lampu belakang dibiarkan menyala beberapa waktu lalu, secara eksplisit menegaskan watak kelas menengah atas yang cenderung arogan. Tindakan tersebut sangat tidak etis dan menciderai azas kenyamanan pengunjung cafe, apalagi di tengah tekanan ekonomi nasional yang memaksa jutaan buruh dan kelompok miskin perkotaan dirumahkan (PHK) akibat pandemi covid-19. Tidak mengherankan jika Podcast MainSepeda#02 (edisi kedua), yang dibintangi cyclist populer Azrul Ananda dan Johnny Ray mengangkat tema “Komunitas Gowes & Komunitas Sombong?” dalam siaran non-streaming mereka.

Komunitas cycling dengan segala atribut prestige dan simbol eksistensi kelas sosialnya mestinya dapat lebih mengedepankan dimensi-dimensi moral dalam perilaku dan tindakan sosialnya. Komunitas gowes sebagaimana yang kita idealkan bukanlah komunitas sombong, tetapi komunitas yang friendly dan sensitif terhadap rasa keadilan bagi seluruh lapisan struktur masyarakat terutama kelompok-kelompok poor society.

Di era booming sepeda ini, kita menunggu lahirnya ide-ide kreatif komunitas cycling untuk ikut meretas peradaban baru yang lebih mengedepankan sisi-sisi humanisme berbasis keadilan dalam interaksi sosial di masyarakat. “Kring Kring Ada Sepeda” adalah karya besar Surjono alias Pak Kasur yang terinspirasi dari tren bersepeda era 1950-an. Lagu berkonten edukasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak ini mengungkap keceriaan anak-anak memperoleh sepeda sebagai hadiah setelah rajin belajar.

Kita tentu tidak menginginkan musisi besar seperti Iwan Fals, menciptakan lagu “Minggir-Minggir Ada Sepeda” sebagai refleksi kritik atas kecenderungan watak dan perilaku “sombong” komunitas cycling di berbagai ruang publik.

Kita rindu sosok Siti Jasiah, pejuang perempuan bumiputra (ibunda Daoed Joesoef) yang tertatih-tatih belajar dan berjuang membeli sepeda, sekaligus menggunakannya untuk melawan dua penindasan secara bersamaan: imperialisme kolonial dan mindset kaum bumiputra yang terbelakang. Pilihannya pada Raleigh, sepeda buatan Inggris, adalah bentuk perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda. Sementara “kenekatannya” membeli sepeda adalah bagian dari cara memecah kebuntuan berpikir kaum bumiputra karena menolak kemajuan. Banyak di antara perempuan-perempuan bumiputra yang selalu mencibir Jasiah karena dianggap meniru gaya Noni dan Nyonya Belanda yang bersliweran menggunakan sepeda; lambang status elite dan kelas sosial saat itu.

Kita merindukan komunitas gowes yang friendly dan ramah terhadap semua golongan status sosial; bukan gowes yang mengekspresikan dan meneguhkan borjuasi strata ekonomi.

*Artikel ini sudah diterbitkan sebelumnya di Times Indonesia tanggal 18 Juli 2020. Link Artikel: https://timesindonesia.co.id/s/40613ttly5

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *