Geger Demokrat dan Anatomi Konflik Partai Politik Di Indonesia
Geger “kudeta” Partai Demokrat memasuki babak baru dengan terpilihnya Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sebagai Ketua Umum dalam forum Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, 5/3/2021. Pasca terpilihnya Moeldoko dalam forum KLB yang berlangsung super cepat itu, ritme konflik semakin mengkristal. Saling lapor dengan kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menandai Partai Demokrat sedang berada dalam klimaks kegaduhan.
Terpilihnya mantan Panglima TNI tersebut menuai kritik banyak kalangan karena dianggap menabrak batas-batas standar etik dan moral pejabat publik. Moeldoko tentu tidak berdiri sendiri. Rasanya mustahil jika tidak ada kekuatan besar di belakangnya. Apalagi, Presiden Jokowi sejauh ini tampak “membiarkan” akrobat politik pembantu-nya tersebut dengan dalih bahwa konflik tersebut adalah urusan internal Partai Demokrat.
Meskipun beberapa pembantu Presiden seperti Mensesneg Pratikno dan Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian secara eksplisit meminta agar tidak menyeret nama Jokowi dalam kemelut Partai Demokrat, namun “klarifikasi” mereka tak cukup argumentatif dalam membendung spekulasi publik terkait keterlibatan istana dalam prahara partai berlambang mercy tersebut.
Kemelut politik di tubuh Partai Demokrat setidaknya bisa dibaca dalam beberapa hal. Pertama, terealisasinya Kongres Luar Biasa di Deli Serdang merefleksikan bagaimana potret kepemimpinan AHY di Partai Demokrat. Pada titik ini, kompetensi AHY dalam mengelola konflik internal patut dipertanyakan. AHY tak cukup lihai dalam membendung gemuruh dan riak-riak yang berkembang di partai. Selain jam terbang politik yang masih pendek, AHY tidak dibesarkan dalam rahim dan tradisi politik yang mengakar. Meskipun secara genetik, ia adalah putra mantan Presiden SBY, tapi AHY tak cukup mewarisi kultur Sang Ayah sebagai politisi.
Pilkada DKI 2017 adalah momentum perdana bagaimana profil kepemimpinan politik AHY dibentuk, dan realitas politik menunjukkan, profil AHY tak cukup kuat dalam memenangkan medan pertarungan di Jakarta. Ia dan pasangannya, Sylviana Murni dalam putaran pertama Pilkada DKI 2017, hanya memperoleh 17,05 persen (937.955 suara), tertinggal jauh dari rival politiknya, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (42,99 persen), dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (39,95 persen).
Kekalahan AHY tersebut cukup unik dalam konteks personifikasi AHY mengingat semua variabel kemenangan terintegrasikan dalam profil AHY. Variabel-variabel itu antara lain; Jawa; tentara; muda; dan ganteng. Tampaknya, ekspektasi terhadap profil pejabat publik (pemimpin politik) yang demikian sudah tergerus dengan tren bergesernya nomenklatur profil dalam ruang politik kontemporer akibat perkembangan teknologi informasi yang semakin massif.
Terpilihnya Jokowi sebagai Gubenur DKI Jakarta (Pilkada 2012) dan Presiden RI (Pemilu 2014) adalah antitesa terhadap kecenderungan profil pemimpin selama ini yang mewakili variabel-variabel tersebut seperti pada saat terpilihnya SBY sebagai Presiden (2004 dan 2009). Pada titik inilah, AHY harus mampu mengurai; mengapa seluruh variabel profil yang dimiliki tak cukup kuat dalam dalam merebut pasar elektoral?. Mengapa resources yang dimiliki AHY tak cukup kuat untuk membangun partai politik yang solid?
Terpilihnya Moeldoko dalam forum KLB dapat dibaca sebagai titik kulminasi dari kerapuhan AHY dalam mengelola partai politik. Tak ada partai politik yang absen dari konflik, karena bagaimanapun, konflik adalah sesuatu yang inheren dalam tubuh dan organisme parpol. Konflik selalu bersenyawa dalam nafas dan aktifitas partai politik. Tetapi, sepanjang bisa dikelola dengan baik, justru konflik tersebut akan menjadi modal sosial yang vital dalam membangun soliditas internal organisasi.
Kedua, terpilihnya Moeldoko dalam KLB tentu membawa konsekuensi etik dan politik. Secara etik, Meldoko adalah pembantu Presiden. Ia merepresentasikan simbol kekuasaan. Tak ada larangan rangkap jabatan, karena Pembantu Presiden dari kalangan Menteri juga banyak berasal dari ketua umum dan pengurus parpol. Tetapi yang menjadi persoalan adalah etika politik yang tak terpenuhi dalam manuver-manuver politik Moeldoko. Inilah yang menjadi pemantik spekulasi terkait keterlibatan Istana dalam konflik Partai Demokrat tersebut.
Apalagi, Moeldoko dalam beberapa hal pernah mendapat karpet merah dari SBY. Mobilitas vertikalnya banyak disumbang oleh jasa baik dan restu SBY. Dalam konteks ini, akan lebih elegan jika Moeldoko mundur dari Kepala Staf Kepresidenan. Publik tentu akan melihat keseriusan Moeldoko, apakah merebut Partai Demokrat hanya untuk kepentingan amputasi dan deligitimasi parpol oposisi ataukah untuk memuluskan langkahnya dalam pertarungan Pilpres ke depan.
Dalam konteks candidacy pilpres 2024, Moeldoko tentu tidak akan mudah, mengingat figurnya yang sejauh ini belum masuk radar. Tingkat popularitas dan elektabilitasnya juga cukup rendah di banding tokoh-tokoh politik lainnya yang beredar. Artinya, menggunakan pelampung Demokrat sebagai kendaraan politik menuju 2024, bukan hanya berat, tetapi juga tak signifikan. Apalagi, tingginya presidential threshold (20% kursi DPR) mengharuskan adanya koalisi antar partai politik dalam mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Ketiga, kemelut Partai Demokrat semakin menambah daftar panjang sengketa dan konflik internal parpol di tanah air. Apa yang dialami Partai Demokrat saat ini tampak sebagai repetisi sejarah. Pada era Orde Lama, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), pernah mengalami hal serupa. Setelah memenangkan pemilu pertama tahun 1955, partai berlambang banteng ini mulai goyah, menghadapi kemelut konflik di awal 1960-an. Dalam perkembangannya, PNI semakin oleng karena peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. PNI yang dipimpin Ali Sastroamidjojo dan Sekjen Surachmat menyatakan berdiri di belakang Presiden Sukarno dan politik Nasakom. Sementara itu, kader PNI yang dipecat pada 6 Oktober 1965 mendeklarasikan DPP PNI baru di bawah kepemimpinan Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja. Konflik ini menyebabkan suara PNI terjun bebas, hanya mendapat 6,93% suara di pemilu 1971. Setelah itu, PNI tenggelam dalam kebijakan fusi partai selama Orde Baru.
Sejak kran reformasi dibuka tahun 1998, reinkarnasi dan pertumbuhan partai-partai politik baru juga diwarnai dengan tingginya ritme konflik internal. Meskipun iklim kepartaian bergerak dinamis dalam ruang demokrasi, tetapi kompetisi yang ketat memaksa partai-partai politik untuk mengokohkan soliditas internalnya sebelum bergerak mencari dukungan yang lebih luas.
Konflik Partai Golkar yang berlangsung kurang lebih 1,5 tahun (2014-2016) pernah menyita atensi publik mengingat Golkar adalah partai lama yang kenyang akan pengalaman politik. Perselisihan Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono saat itu menandai adanya turbulensi politik dalam tubuh beringin. Namun demikian, Golkar cepat melakukan recovery dan rekonsiliasi politik. Di sinilah kelihaian Golkar dalam mengelola konflik sehingga bisa solid kembali.
Begitu juga dengan PKB yang pernah jatuh dalam kubangan konflik tiga kali sejak berdiri. Konflik terakhir berhasil membelah PKB menjadi dua yaitu kubu Gus Dur (versi Muktamar Luar Biasa, Parung Bogor, 2008) dan PKB Muhaimin Iskandar (versi Muktamar Luar Biasa, Ancol, 2008).
Meski sempat turun di pemilu 2009 (4,95% suara), PKB di bawah kendali Cak Imin berhasil bangkit kembali dengan tren kenaikan jumlah kursi dan suara dalam dua kali pemilu terakhir (2014; 9,04% suara dan 2019; 9,69% suara). Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari kepiawaian Cak Imin sebagai politisi yang mampu menggerakkan seluruh sumber daya partai secara optimal.
Di luar itu, PPP juga pernah mengalami konflik serupa dengan terbelahnya partai menjadi dua kubu, Romahurmuzy vs Djan Faridz. Meskipun menguras banyak energi, sengkarut konflik PPP semakin meredup dan berakhir dengan digelarnya Muktamar PPP IX 2020 yang menetapkan Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum.
Problem Institusionalisasi Partai Politik
Apa yang dialami PNI, Golkar, PKB, PPP, Partai Demokrat dan parpol-parpol lainnya, di satu sisi memang merefleksikan anatomi konflik partai politik di Indonesia yang dinamis, tetapi di sisi lain juga menggambarkan proses institusionalisasi partai politik yang berjalan melambat.
Sebagai pilar penting demokrasi, partai politik tentu memainkan peran strategis dalam proses pembangunan politik dan pemerintahan. Sebagaimana dijelaskan Schattschenider (1942), “Political parties created democracy”. Partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Dalam konteks ini, the degree of institutionalization partai politik perlu diperkuat lagi dalam sistem politik yang demokratis.
Sejauh ini, performa partai politik lebih tampak sebagai kendaraan politik para elite nya dalam perebutan arena kekuasaan. Partai politik belum mampu menjadi institusi yang matang, terlembaga dan demokratis sebagai instrumen organik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sistem kepartaian yang baik tentu akan menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances”. Sebaliknya, bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara sesuai prinsip “checks and balances” juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian.
Pelembagaan demokrasi tentu sangat bergantung pada institusionalisasi organisasi partai politik sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Yves Meny dan Andrew Knapp (1988) menyebut, “a democratic system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap apa yang sudah dicapai dalam periode kedua pemerintahan Jokowi, komitmen pemerintah terhadap agenda penguatan pilar-pilar demokrasi tampak mengalami kemunduran. Dalam konteks ini, simpul-simpul utama demokrasi khususnya partai politik justru mengalami pelemahan institusional yang menandai belum bekerjanya demokrasi di internal partai politik itu sendiri. Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan pelemahan partai oposisi yang berujung pada mandulnya mekanisme check and balance.
Kini, Demokrat sedang menghadapi jalan terjal; apakah berhasil bangkit kembali di tangan kreatif AHY atau tenggelam dalam kubangan konflik dan berakhir beku menjadi fosil sejarah?. Publik menunggu kepiawaian AHY dalam memainkan political intelligence nya. Jika konflik bisa dikelola dengan baik, bukan mustahil Partai Demokrat justru bisa memetik insentif elektoral dari arena konflik tersebut.
Artikel ini telah diterbitkan di Jawa Pos. https://www.jawapos.com/opini/18/03/2021/geger-demokrat-dan-anatomi-konflik-partai-politik-di-indonesia/?page=4
0 Comments