Meragukan Kepemimpinan AHY

Efriza
Peneliti Citra Institute

Konferensi pers Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Ketua Umum Partai Demokrat menarik perhatian publik. Ia menyatakan adanya gerakan upaya kudeta kepemimpinan partai demokrat. Kudeta ini disinyalir melibatkan pejabat tinggi pemerintahan. Lalu, sebenarnya apa yang terjadi dengan Partai Demokrat? Dan, mengapa ada gerakan yang disinyalir Kudeta tersebut? Artikel ini ingin membahas permasalahan tersebut.

Partai Demokrat Seperti Balon Tiup

Partai Demokrat sejak dua pemilu terakhir, mengalami penurunan suara drastis dan konsisten. Partai ini layaknya sebuah balon tiup, dari tak ada, lalu ditiup/dipompa hingga membesar, tetapi ketika udara di dalam balon itu hilang, akan menyusut hingga mengempis.

Lihat saja, dari 7,45 persen perolehan suara di awal keikutsertaan di Pemilu 2004, menempati urutan kelima sebagai partai baru. Tiba-tiba menjadi peraih suara mayoritas dengan 20,85 persen. Kemudian, menyusut menjadi 10,19 persen, terlempar ke urutan keempat di Pemilu 2014. Partai Demokrat makin mengempis, terseok dengan 7,7 persen urutan kedua dari bawah atas sembilan partai di Parlemen, berdasarkan perolehan suara dan ambang batas parlemen di Pemilu 2019. Partai ini dari fenomenal sebagai Partai Baru, menjadi Partai Besar, berakhir sebagai partai gurem.

Fenomena Penurunan suara drastis dari Partai Demokrat, karena figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan politik pencitraannya, telah usang. Kedua hal tersebut adalah udara yang ada dalam balon, analogi untuk Partai Demokrat. Kerapuhan terjadi ketika menuju Pemilu 2014, Partai Demokrat mencoba membranding partai dengan pencitraan diri sebagai Partai Anti Korupsi. Tetapi yang terjadi malah borok di dalam pengelolaan kepartaian terbongkar. Dari pengurus partai hingga anggota legislatif, tersangkut korupsi. Bendahara Partai, hingga Ketua Umum dan juga calon ketua umum yang gagal dalam kongres Partai Demokrat, tersangkut korupsi dan menginap di hotel prodeo.

Partai Demokrat mengalami peringatan pepatah, “menepuk air didulang, terpecik muka sendiri.” Inilah awal mula politik pencitraan menerkam aktor dan institusinya sendiri. Kasus ini yang menyeret Ketua Umum Anas Urbaningrum, masuk bui, dalam kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang pada 2010-2012.
Gagap Dalam Bersikap

Memasuki Pemilu 2014, Partai Demokrat mencoba untuk membenahi diri dengan pencitraan yang nyeleneh. Sebagai lembaga infrastruktur politik, Partai Politik malah tidak ikut berkoalisi di antara dua pilihan koalisi di Pilpres 2014. Partai yang tak berpolitik di tengah perebutan kekuasaan.

Padahal perilakunya tidak benar-benar netral. Partai Demokrat bermanuver dalam Pemilihan Pimpinan MPR dan DPR serta Revisi UU MD3, memilih gerbong Koalisi Merah Putih (KMP), hingga akhirnya terjadi konflik dualisme pimpinan DPR di Senayan. Sedangkan, memasuki Pemilu 2019, Partai Demokrat memang tak lagi memilih netral. Tetapi mereka tidak serius mendukung pasangan Prabowo-Sandi kala itu. Dukungan Partai Demokrat terjadi, setelah upaya membentuk poros ketiga gagal dilakukan oleh SBY.

Partai Demokrat sejak tak memerintah, gamang menentukan pilihan dan berperilaku. Partai Demokrat malah tak bersikap dengan konsisten. Sebenarnya wajar terjadi, karena SBY memang tak suka jika tak menjadi leader-nya, seperti dalam membangun koalisi. Partai Demokrat dan SBY menganggap masih pemimpin, padahal sudah terdegradasi sebagai barisan partai gurem. Ketidaksadaran itu yang tak dimiliki oleh Partai Demokrat, sehingga perilaku berpolitik amat gamang.

Kepemimpinan AHY Dipertanyakan

Pemilu 2019 kemarin, bahkan sejak Pemilu 2009, Partai Demokrat mengakui bahwa mereka membutuhkan sinergi dengan partai lain untuk memperoleh kekuasaan, sehingga mendekati PDI Perjuangan. Hubungan tak harmonis antara SBY dan Megawati, membuat beberapa kali pertemuan untuk membahas dukungan ke pemerintah, selalu gagal. Ketika gagal dengan PDI Perjuangan, apalagi ditinggal oleh PKB yang merupakan mitra paling solid. Menyebabkan gerak Partai Demokrat makin tak menentu arah. Sikap ketidakkonsistenan, hanya bergerak dalam ruang politik pencitraan semata. Tak ada kejelasan identitas sebagai pendukung pemerintah atau oposisi. Apalagi menawarkan preferensi kebijakan. Perilaku berpartai hanya menampilkan politik receh, ‘childist,’ yang dikemas dalam komunikasi buruk, merenggek, menggelar konferensi pers, curhat, dan sebagainya, yang hanya bertujuan untuk menarik simpati publik, dengan penggambaran korban ketidakadilan, bukan sebaliknya menunjukkan perhatian ke publik.

Sikap yang hanya mengharapkan perhatian publik semata terjadi karena mereka gagap tampil ketika tidak berkuasa. Padahal mereka bisa belajar dari pengalamannya, seperti apa menjadi oposisi, karena kala mereka berkuasa, oposisi dilakukan oleh PDI Perjuangan. Politik pencitraan mereka yang mengharapkan simpati publik, tak lagi bermanfaat karena terbongkarnya kasus korupsi dan beberapa kebijakan yang dihasilkan tak menunjukkan keberhasilan dari pemerintahan SBY.

Sayangnya, menuju Pemilu 2024 publik akan terus dibanjiri oleh berbagai manuver, dengan komunikasi nyeleneh untuk menarik simpati publik, inilah pencitraan ala Partai Demokrat. Padahal tidak menunjukkan sebagai kerja partai yang peduli dengan rakyatnya. Semestinya sebagai partai politik yang peduli dengan rakyat, Partai Demokrat selayaknya mengupayakan mengeluarkan argumentasi terkait preferensi kebijakan. Sebelum melakukan itu, Partai Demokrat harus menyatakan diri dengan tegas berada sebagai pendukung pemerintah, atau memilih sebagai oposisi. Sebab, gerak partai demokrat, sebagai partai urutan ketujuh, tak berpengaruh besar dalam politik, karena Partai Demokrat layaknya partai gurem, kecuali Partai Demokrat benar-benar menunjukkan kekonsistenan pilihannya.

Bukan malah, menunjukkan bahwa partai ini tidak bekerja. Seperti SBY yang digambarkan sekarang sebagai chef nasi goreng. Kemudian Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan bahwa ada yang ingin mengkudeta Partai Demokrat untuk Pemilu 2024. Yang disinyalir oleh AHY, dilakukan oleh lima pihak yang berstatus kader, eks kader, hingga pejabat pemerintah yang berniat mengambil paksa partainya. Pernyataan AHY ini, jika dipelajari adalah pernyataan mengenai ada konflik di internal Partai Demokrat. Konflik Internal ini tentu bermuara pada keinginan dilaksanakannya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk memilih nakhoda baru Partai berlambang mercy ini.

Pernyataan ini disampaikan oleh AHY sendiri, malah mencoreng mukanya. Ia sedang menunjukkan kepemimpinannya, yang diragukan oleh kadernya, bahwa ia mampu membawa kemajuan partai. Partai Demokrat sedang mengumbar terjadi friksi di dalam partai, ia sebenarnya sedang menunjukkan pengharapan bantuan dari pemerintah untuk melindungi posisi dan kekuasaannya.

Semestinya, AHY mengambil sikap dengan melakukan konsolidasi dan melakukan penguatan partai ke dalam, agar konflik tak meluas. Dengan mengumbar dan meminta perlindungan ke pemerintah, menunjukkan ia gagap dalam memimpin. Di sisi lain, publik tidak terlalu memikirkannya, apalagi bersimpati. Sekarang ini dibenak publik, partai ini adalah milik keluarga, siapa yang bisa mengkudetanya, dan untuk apa kudeta partai gurem.

Partai ini juga sedang mengalami punishment dari masyarakat, berupa kemerosotan suara terus menerus dalam Pemilu. Sehingga publik sudah jengah, jika tak ada kerja nyata. Sudah selayaknya, Partai Demokrat menyelesaikan konflik internal. Mulai mengurangi komunikasi pencitraan yang sudah usang, ditengah kerapuhan soliditas, dan gerak partai yang tak terarah. Jangan sampai rakyat yang memberikan ukuran Kepemimpinan AHY, mengenai cakap dan terampil, dalam mengelola Partai Demokrat. Cukup kegagalan sekali saja AHY, ia dianggap belum layak memimpin oleh rakyat, ketika keok di Pilkada Gubernur 2017.

Artikel ini telah diterbitkan di elangnews.com https://elangnews.com/kolom-mata-elang/meragukan-kepemimpinan-ahy.html

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *