Jalan Panjang Sosialisme Demokratis, Dari Karl Kautsky Hingga Lord Lindsay

Yusak Farchan
Pengamat Politik Citra Institute;
Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional

Sosialisme Demokratis; Review atas Tulisan Ebenstein

Mengawali tulisannya tentang Sosialisme Demokratis pada Bab 24 buku Great Political Thinkers; Plato to the Present (1960; 741), William Ebenstein menyatakan bahwa jika dilihat dari perspektif sejarah, kapitalisme merupakan lebih dari sekedar sistem ekonomi. Dengan menerapkan metode perhitungan rasional terlebih dahulu pada praktik dan institusi ekonomi, kapitalisme kemudian semakin merambah semua fase peradaban lainnya dan menciptakan cara hidupnya sendi

Menurut Ebenstein, tumbuhnya ilmu pengetahuan modern dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, munculnya pragmatisme filsafat dan individualisme dalam politik, keunggulan sipil atas militer, penerimaan eksperimentalisme dalam ide dan institusi, kemajuan penyebaran pemikiran-pemikiran dunia, dan pengujian bentuk utilitarian, merupakan beberapa nilai dan sikap abadi yang telah diciptakan kapitalisme.

Ebenstein mengkritik kapitalisme karena dalam memecahkan beberapa masalah, kapitalisme justru menciptakan masalah baru. Kapitalisme adalah pernyataan kemenangan atas keberanian individu, keterampilan dan usaha mengatasi kelambanan dan ketidakmampuan birokrasi. Kebebasan politik sangat diperkuat oleh individualisme ekonomi baru. Namun, seiring dengan kemajuan ekonomi kapitalis, bentuk kepemilikan dan kerja individual secara bertahap digantikan, karena perubahan teknologi, keuangan, dan manajerial, oleh sistem ekonomi di mana perusahaan skala besar mengeksploitasi pemilik-pekerja kapitalis asli. Pengelolaan dan pekerjaan menjadi kolektif, namun kepemilikan tetap pribadi.

Menurut Ebenstein, perkembangan kapitalisme memunculkan paradoks tersendiri di mana semakin kapitalisme berhasil, maka akan semakin menghancurkan karakter institusional dan ideologis aslinya dengan “mensosialisasikan” kerangka masyarakat (Ebenstein, 1960; 742). Ebenstein menyebut nama-nama pengusaha kapitalis paling sukses seperti Andrew Carnegie, John D. Rockefeller, Elbert H. Gary, Edward H. Harriman, dan Henry Ford yang menciptakan kerajaan industri yang luas. Seperti semua kerajaan, kerajaan industri juga memiliki kecenderungan untuk meratakan dan meratakan perbedaan, mengikuti rutinitas, mengabaikan kekhasan lokal individu demi aturan dan praktik umum, dan, di atas segalanya, mengubah pemerintahan pribadi menjadi pemerintahan impersonal standar administrasi. Perusahaan kapitalis skala besar dengan demikian menciptakan kondisi institusional di mana beberapa bentuk kolektivisme pasti akan berkembang.

Sosialisme demokratis tidak dapat mengikuti dogma demi dogma, tetapi harus membuktikan secara pragmatis, melalui pencapaian nyata, hak moralnya untuk menerapkan prinsip kepemilikan publik pada industri yang akan memperoleh keuntungan dari sosialisasi (Ebenstein, 1960; 745). Mengenai kompensasi, sosialisme demokratis tidak percaya bahwa harapan yang sah dari warga negara dapat dilanggar, dan mereka tetap percaya bahwa pengambilalihan properti pribadi hanya diperbolehkan setelah proses yang wajar dan kompensasi yang layak. Bagi sosialisme demokratik, pentingnya kepemilikan publik atas industri dasar merupakan sarana untuk mencapai tujuan, dan bahwa penghormatan terhadap hak, termasuk hak kepemilikan yang sah, adalah dasar dari demokrasi. Kepercayaan antara mayoritas dan minoritas, antara pemerintah dan oposisi, adalah kunci vitalitas demokrasi.

Lebih lanjut Ebenstein menjelaskan bahwa istilah komunisme revolusioner dan sosialisme demokratik sering dikacaukan dan digunakan sebagai konsep yang dapat dipertukarkan karena keduanya tampak sepakat pada satu tujuan yaitu pemindahan kepemilikan publik atas alat-alat produksi (Ebenstein, 1960; 745). Namun ada dua perbedaan mendasar yang memisahkan komunisme revolusioner dan totaliter dari sosialisme konstitusional dan demokratis. Pertama, komunis secara dogmatis berkomitmen pada prinsip kepemilikan publik untuk semua bentuk properti selain barang konsumsi pribadi, sedangkan sosialis tidak berkomitmen pada dogma apriori apa pun tentang keunggulan yang melekat pada kepemilikan publik atas pribadi.

Sosialis berusaha untuk menetapkan kriteria rasional, pragmatis, dan empiris yang memenuhi syarat industri untuk nasionalisasi. Dalam satu contoh kriteria mungkin monopoli alam (seperti gas, cahaya, air, telepon dan telegraf, dan utilitas lainnya). Selain itu, misalnya industri penting yang telah menjadi “kritis” dan yang tidak mungkin pulih di bawah perusahaan swasta yang tidak direncanakan (seperti industri batubara Inggris sebelum nasionalisasi). Perbedaan utama kedua tidak kalah pentingnya. Bagi sosialis demokratik, kebebasan individu sangat penting bahkan di atas segalanya, termasuk sosialisasi ekonomi.

Menurut Ebenstein, dalam praktiknya, pilihan dalam demokrasi tidak akan pernah berada di antara kapitalisme penuh dan sosialisme penuh, karena demokrasi terdiri dari penanganan isu-isu yang relatif dapat dikelola (Ebenstein, 1960; 746). Oleh karena itu, sosialis demokratik membayangkan transisi dari ekonomi yang didominasi kapitalis ke ekonomi yang didominasi sosialis, bukanlah sebagai akibat dari kudeta revolusioner, tetapi sebagai hasil dari langkah-langkah bertahap. Ebenstein memberi catatan bahwa ekonomi kapitalis murni tidak pernah ada dalam praktiknya.

Jika komunisme berpikir dalam tiga hal mutlak yaitu kapitalisme–revolusi- komunisme diktator, maka sosialis berpikir dalam tiga konsep relatif yaitu ekonomi yang didominasi kapitalis sebagai titik awal; proses panjang reformasi sebagai periode transisi bertahap; dan ekonomi yang disosialisasikan sebelumnya sebagai tujuan yang mungkin.

Transisi bertahap dari kapitalisme liberal ke sosialisme liberal di negara demokratis seperti Inggris atau Swedia sama-sama berada dalam kisaran evolusi yang dapat diperkirakan dan mungkin terjadi seperti halnya transisi dari Tsar otokratis ke komunisme diktator di negara seperti Rusia (Ebenstein, 1960; 747). Rusia akan mengalami revolusi yang lebih besar pada tahun 1917 jika dia beralih dari otokrasi ke demokrasi, daripada menukar satu dari otokrasi dengan yang lain. Demikian pula, Inggris dapat dikatakan mengalami perubahan institusi yang benar-benar revolusioner hanya jika dia menukar cara hidup demokratisnya dengan totalitarianisme.

Ebenstein menjelaskan bahwa sebagian besar negara tidak termasuk dalam kategori kedewasaan demokrasi yang sempurna atau ketidakdewasaan total, tetapi umumnya terletak di antara dua ekstrem tersebut. Dengan demikian, melihat Eropa, Prancis atau Italia adalah kasus terbuka, dan perkembangannya menuju sosialisme atau komunisme tidak dapat diprediksi dengan mudah. Di Asia, India tampaknya ditakdirkan untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan kebebasan dan totalitarianisme, tetapi tidak pasti apakah dia akhirnya akan mampu membela diri melawan komunisme. Di Afrika dan Amerika juga, ada sejumlah negara yang pengalaman kelembagaannya tidak didominasi oleh demokrasi atau otoriter.

Karena sosialisme demokratik anti otoriter, ia tidak menghasilkan pernyataan otoritatif tentang doktrin sosialis yang diterima oleh semua sosialis, sebagaimana tulisan-tulisan Marx dan Lenin diterima oleh komunis (Ebenstein, 1960; 748). Ada pemikiran sosialis massa, tetapi tidak ada doktrin sosialis yang serupa dengan Manifesto Komunis-nya Marx atau Negara dan Revolusi-nya Lenin.

Teoritisi Sosialis Terkemuka
Selanjutnya, Ebenstein menguraikan beberapa ahli atau teoritisi Sosialis terkemuka.

Karl Kautsky (1854-1938)
Ahli teori sosialis terkemuka antara zaman Marx dan Engels dan zaman sekarang adalah Karl Kautsky (1854-1938). Kautsky adalah penduduk asli Praha, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austro-Hungaria. Pada usia sembilan tahun ia pindah ke Wina, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Austria dan Jerman. Tenggelam dalam kematian Marx, Kautsky mengunjungi Inggris lagi pada tahun 1885 dan menjadi dekat dengan Engles.

Kautsky dengan cepat memantapkan dirinya sebagai ahli teori terkemuka Sosial Demokrasi dan akhirnya mendominasi pemikiran Internasional Kedua (Sosialis), sementara Karl Marx mendominasi pemikiran Internasional Pertama (Asosiasi Pekerja Internasional). Kautsky adalah salah satu dari sedikit sosialis di Jerman yang menentang perang pada tahun 1914, sedangkan sebagian besar partai Sosial Demokrat dengan antusias mendukungnya. Setelah Perang Dunia I, Kautsky kembali ke Wina, tetapi penaklukan Austria oleh Nazi Jerman pada musim semi 1938 memaksanya untuk melarikan diri dari Austria. Kautsky mendapatkan perlindungan di Belanda, dan meninggal pada musim gugur 1938.

Menurut Ebenstein, Kautsky bukanlah pendatang baru dalam studi Rusia: bukunya tentang The Moving Forces of the Russian Revolution diterbitkan pada tahun 1906, dan terjemahan bahasa Rusianya berisi kata pengantar oleh Lenin di mana ia menyatakan bahwa Kautsky adalah satu-satunya sosialis barat yang memiliki pemahaman sejati tentang Rusia dan masalah sosialnya (Ebenstein, 1960; 749). Namun setelah revolusi komunis di Rusia, ketika Kautsky menyerang revolusi dan kediktatoran, Lenin menjawab dalam The Proletar Revolution and Kautsky the Renegade (1919). Sebelum Stalin menjadikan istilah “Trotskyite” sebagai simbol kejahatan dan penghinaan, Lenin telah menciptakan istilah “Kautskyite” sebagai simbol pengkhianatan terhadap Komunisme Soviet.

Clement R. Attlee (1883-1967)
Clement Richard Attlee adalah seorang politikus Inggris yang menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris dari 1945 hingga 1951 dan Pemimpin Partai Buruh dari 1935 hingga 1955. Dia adalah Wakil Perdana Menteri selama pemerintahan koalisi masa perang di bawah Winston Churchill, dan menjabat dua kali sebagai Pemimpin Oposisi dari 1935 hingga 1940 dan dari 1951 hingga 1955.

Attlee lahir dalam keluarga kelas menengah ke atas, putra seorang pengacara kaya di London. Setelah menghadiri sekolah umum Haileybury College dan Universitas Oxford, ia berpraktik sebagai pengacara. Pekerjaan sukarela yang dia lakukan di East End London membuatnya jatuh miskin dan pandangan politiknya bergeser ke kiri sesudahnya. Dia bergabung dengan Partai Buruh Independen, meninggalkan karir hukumnya, dan mulai mengajar di London School of Economics.
Menurut Ebenstein, oleh karena gerakan sosialis Inggris sangat liberal, tidak mungkin menganggap satu orang atau buku sebagai sumber kebenaran dan dogma. Kekuatan gerakan sosialis Inggris selalu terletak pada etikanya daripada filosofinya.

Clement R. Attlee (1883), Perdana Menteri dari Pemerintahan Buruh mayoritas pertama dalam sejarah Inggris mencerminkan karakter sosialisme Inggris. Di Oxford, Attlee berkonsentrasi pada sejarah dan hukum modern, tetapi dia tidak mencolok sebagai mahasiswa atau sebagai pemimpin kegiatan mahasiswa. Pandangannya adalah jenis konservatif ortodoks di mana dia dibesarkan, sampai dia mulai melakukan pekerjaan sosial di daerah kumuh London Timur pada tahun 1905 (Ebenstein, 1960; 753-754). Persentuhannya dengan fenomena kemiskinan mengubah seluruh pandangan Attlee, dan dia beralih ke sosialisme sebagai jalan keluar. “Saya tidak ditobatkan oleh logika Karl Marx” adalah perkataan Attlee tentang dirinya sendiri. Kekuatan pendorong yang mengubahnya menjadi sosialis adalah sentimen keagamaannya, dan pengalaman sehari-hari yang tak terhitung jumlahnya.

Asosiasi Attlee dengan East End London tidak terbatas pada pekerjaan sosial praktis. Dari pekerjaan sosial ia pindah ke politik, dan sejak 1922 ia telah mewakili Limehouse, konstituen kelas pekerja, di House of Commons. Hubungannya yang panjang dengan East End selalu menjadi sumber kepuasan dan kebahagiaan yang mendalam bagi Attlee, dua orang yang bekerja bersama orang miskin selama bertahun-tahun. Karena komunikasinya dengan orang-orang dari segala jenis, Attlee memperoleh pemahaman tentang kebutuhan mereka dan menjadikan pandangan politiknya semakin kokoh. Pada tahun 1935 Attlee terpilih sebagai Pemimpin Partai Buruh, dan sepuluh tahun kemudian, pada musim panas 1945, ia menjadi Perdana Menteri Inggris Raya, didukung di House of Commons oleh mayoritas Buruh hampir dua pertiga.

George Douglas Howard Cole (1889-1959)
George Douglas Howard (G.D.H) Cole adalah seorang ahli teori politik, ekonom, dan sejarawan Inggris. Sebagai orang yang percaya pada kepemilikan bersama atas alat-alat produksi (sosialisme libertarian), ia berteori tentang sosialisme serikat (produksi yang diselenggarakan melalui serikat pekerja). Cole berasal dari Fabian Society dan merupakan advokat untuk gerakan koperasi.

Menurut Ebenstein, meskipun sepenuhnya menerima dan menegaskan kembali pendekatan liberal terhadap politik dan pemerintahan, sosialisme demokratis Inggris menolak pendekatan liberal terhadap organisasi ekonomi masyarakat industri modern. Solusi liberal yang lebih tua dari laissez faire abad kesembilan belas di bidang ekonomi telah ditolak oleh sosialis demokratis selama lebih dari satu abad, bahkan teori ekonomi Keynes dan Keynesian yang lebih baru tidak dapat menggantikan sosialisme (Ebenstein, 1960; 756). Dalam hal apa teori Keynes berbeda dari sosialisme demokratis adalah salah satu isu sentral dari Ekonomi Sosialis versi Cole (1950).

Cole adalah salah satu dari sedikit filsuf sosial modern yang keluar dari “pakem” teori spesialisasi yang berlebihan. Dia mulai sebagai seorang filsuf, dan pelatihan filosofisnya masih tercermin dalam kejernihan dan ketajaman gaya dan pemikiran tersebut. Dari filsafat, Cole beralih ke ekonomi, sejarah, dan teori politik. Ia melihat kompleksitas dan kerumitan hubungan manusia, serta masalah sosial sebagai masalah kesejahteraan manusia.

Sebagai penulis paling produktif seusianya, Cole memberikan pengaruh besar pada generasi yang tumbuh antara Perang Dunia I dan II. Sebagian besar pekerjaan Cole dilakukan dalam kolaborasi bersama dengan istrinya, Margaret, dan “the Coles” semakin menjadi institusi di Inggris, karena “Webbs” telah menjadi generasi sebelumnya. Seperti Webbs, Coles aktif di Fabian Society, G. D. H. Cole menjabat sebagai presiden selama bertahun-tahun sebelum dan sesudah Perang Dunia II.

Cole menjadi tertarik pada Fabianisme saat belajar di Balliol College, Oxford. Dia bergabung dengan eksekutif Fabian Society di bawah sponsor Sidney Webb. Cole menjadi pendukung utama ide-ide sosialis serikat, alternatif sosialis libertarian untuk ekonomi politik Marxian. Ide-ide ini dia kemukakan di The New Age sebelum dan selama Perang Dunia Pertama dan juga di halaman The New Statesman, mingguan yang didirikan oleh Beatrice Webb dan George Bernard Shaw.

Lord Lindsay (1879-1952)
Lord Lindsay (1879-1952) adalah Master of Balliol College di Oxford University dan salah satu filsuf politik terkemuka di Inggris Raya. Dia bergabung dengan Fabian Society sebagai sarjana pada tahun 1900, dan segera mengambil bagian aktif dalam pendidikan orang dewasa. Perhatian utamanya dalam filsafat politik adalah masalah komunitas dan pelestarian serta penguatannya dalam kondisi industri yang kompleks pada abad kedua puluh.

Lindsay melihat bahwa dalam sosialisme, kemungkinan membangun komunitas pria dan wanita yang bebas didedikasikan untuk usaha dan kesenangan bersama. Dia berpendapat bahwa “masyarakat, jika ingin memiliki makna, harus menjadi kehidupan bersama; bahwa kehidupan bersama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh semua anggota masyarakat, dan bahwa kondisi yang diperlukan untuk berbagi di dalamnya oleh karena itu harus tersedia untuk semua orang” (Ebenstein, 1960; 757).

Selanjutnya, menurut Ebenstein, kekuatan komunisme berbanding terbalik dengan kekuatan sosialisme demokratis (Ebenstein, 1960; 758). Beberapa negara mungkin terus mempraktekkan sistem usaha bebas dan menolak sosialisme di dalam perbatasan mereka sendiri. Namun dari sudut pandang kepentingan jangka panjang, sosialisme demokratis akan membuktikan lawan ideologis yang kuat dari komunisme internasional. Kapitalisme terutama berkaitan dengan kebebasan politik dan secara komparatif kurang peduli tentang kesetaraan sosial dan ekonomi. Komunisme bertujuan pada yang terakhir (kesetaraan sosial dan ekonomi) tetapi dengan kejam menentang dan menghancurkan yang pertama (kebebasan politik). Sosialisme demokratis adalah satu-satunya tantangan kontemporer bagi kapitalisme dan komunisme, karena ia berusaha menyelaraskan kebebasan politik dengan kesetaraan sosial dan ekonomi.

Menurut Ebenstein, sejauh ini sosialisme demokratis hanya berhasil di negara-negara seperti Swedia, Norwegia, Denmark, Selandia Baru, Australia, dan Inggris yang memiliki tradisi kebebasan politik terkuat di dunia, ditambah dengan standar pengabdian dan integritas yang tinggi dalam kehidupan publik. Jalan menuju doktrin sosialis mungkin sederhana, tetapi jalan menuju realitas sosialis itu rumit: bukanlah kebetulan bahwa sosialisme demokratik telah tumbuh dan memerintah hanya di negara-negara yang paling matang secara politik, sedangkan komunisme totaliter, seperti fasisme, telah mengakar secara primer di negara-negara yang kurang berpengalaman, yang tradisi demokrasi politiknya tidak terlalu stabil dan standar pemerintahannya tidak terlalu tinggi.

CATATAN KRITIS
Catatan Kritis Pertama

Catatan kritis pertama adalah terkait nilai-nilai dasar sosialisme demokratis. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa konsep sosialisme demokratis atau Sosial Demokrasi bukanlah sebuah konstruksi teoritis yang kaku serta baku sepanjang masa, melainkan sesuatu yang secara terus menerus diperbaharui dan secara demokratis harus diperjuangkan.

Meskipun tulisan Ebenstein menyinggung masalah nilai-nilai dasar sosialisme demokratik baik dalam tataran normatif dan praktik-nya di sejumlah negara, namun penyajian Ebenstein tampak kurang sistematis. Penegasan nilai-nilai dasar sosialisme demokratis secara terstruktur dan sistematis sangatlah penting mengingat istilah sosialisme demokratis sering dikacaukan dengan istilah-istilah serupa lainnya seperti “demokrasi sosial” atau “sosial demokrasi” yang sering menimbulkan kebingungan, khususnya di kalangan akademisi.

Secara teoritis, nilai-nilai dasar sosialisme demokratis terdiri dari tiga elemen fundamental yaitu; kebebasan, kesetaraan (keadilan) dan solidaritas. Nilai-nilai dasar tersebut serupa dengan slogan Revolusi Perancis yaitu “Kebebasan! Kesetaraan! Persaudaraan!“. Semboyan liberté, egalite, fraternité adalah salah satu dari sekian banyak moto yang lahir dari perjuangan rakyat Perancis ketika berusaha membebaskan diri dari sistem monarki dalam Revolusi Perancis (1789-1799).

Liberté atau kebebasan, berarti hak untuk hidup bebas dan tanpa penindasan atau pembatasan yang tidak semestinya dari pihak berwenang. Moto ini adalah nilai inti dalam masyarakat demokratis, begitu juga dengan egalite atau kesetaraan. Kesetaraan bukan hanya tentang memperlakukan satu sama lain secara adil, tetapi juga bahwa setiap orang dipandang sama di mata hukum. Sedangkan fraternité atau persaudaraan bukan hanya tentang gender, melainkan bahwa semua orang harus baik dan mendukung satu sama lain.

Hingga saat ini, partai politik demokratis selalu mengacu pada nilai-nilai dasar kebebasan, kesetaraan (keadilan) dan solidaritas tersebut. Formulasi nilai-nilai dasar ini dimulai sejak era peradaban warga (civilization), dan kemenangannya dimulai paling lambat sejak pertengahan abad ke-20; dan menjadi slogan yang menjadi tuntutan kepada negara dan masyarakat sebagai “common sense“. Hal tersebut juga tercermin dalam hak-hak dasar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan dua pakta Hak-hak Asasi Manusia (HAM) PBB tahun 1966, telah dicapai pengakuan maksimal secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan kemasyarakatan karena telah diratifikasi oleh sebagian besar negara. Ia menjadi landasan tuntutan global. Hak-hak dasar perlu dijaga dengan cara memformalkan dan diterjemahkan dalam sebuah jaminan pemenuhan hak.

Pada saat yang sama, perlu diingat bahwa hak-hak dasar yang ditetapkan bersama tersebut di banyak negara belum diterapkan, bahkan sebagian disalahgunakan untuk menentang HAM oleh negara yang telah meratifikasinya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah penerapan hak-hak dasar telah menjadi kenyataan dalam masyarakat?. Dalam banyak hal, tampaknya penerapan hak-hak dasar ini masih perlu diragukan.

Sosialisme demokratis berorientasi di tataran normatif pada nilai-nilai dasar dan hak-hak dasar tersebut. Ia berkembang pada tuntutan normatif dan dalam menjawab pertanyaan apakah secara nyata dimungkinkan menjadi inti dan arah kebijakkan politik. Oleh karenanya, nilai-nilai dasar dan penerapannya dalam bentuk hak-hak dasar seringkali menjadi ukuran untuk menentukan suatu arah kebijakan politik. Dalam sejarahnya, nilai-nilai dasar semenjak masa pencerahan (Aufklärung) pada abad ke-18, baik dalam defenisi maupun keterhubungannya dengan kenyataan, telah mengalami perubahan. Saat ini, kita bisa mengatakan bahwa hal tersebut berangkat dari tiga nilai dasar, yaitu kebebasan, kesetaraan/keadilan dan solidaritas.

Terkait dengan nilai kebebasan, perlu ditegaskan bahwa kebebasan merupakan nilai dasar yang secara luas diyakini oleh semua pelaku politik. Kebebasan dihubungkan dengan cara berpikir tercerahkan dan dimulainya era peradaban warga. Pemikir seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Immanuel Kant, Karl Marx serta para pemikir kritis lainnya pada berbagai era dalam sejarah yang berbeda memikirkan dan mendeskripsikan kemungkinan realisasi dari kebebasan tersebut.

Dalam perkembangannya, tuntutan sosialisme demokratis terhadap nilai kebebasan adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Kebebasan individu dan kekebasan untuk secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat harus secara mendasar dijamin dan dipastikan.
b) Kebebasan mensyaratkan setiap individu hidup dalam kebebasan.
c) Diperlukan rambu-rambu sosial dan kelembagaan yang menjadikan kebebasan tersebut mungkin direalisasikan. Jika hanya rumusan formal tentang kebebasan sebagai hak dasar, belumlah memadai.
d) Kebebasan mensyaratkan bahwa keputusan politik harus dilakukan secara demokratis. Kebebasan juga mensyaratkan bahwa manusia bertindak secara bijak dan bertanggungjawab.

Sementara itu, terkait dengan konsep kesetaraan (keadilan), konsep-konsep sosialistis umumnya beranggapan, bahwa ketimpangan dan ketidakadilan yang ada harus bisa dijelaskan. Persamaan atau pembagian keadilan, dapatlah dilihat langsung dari statistik kemiskinan dan kekayaan. Jadi, ketimpangan dan ketidakadilan bukanlah kebetulan atau satu reaksi terhadap ketimpangan yang muncul sekali itu saja, melainkan persoalan kemasyarakatan yang sistematik. Produksi ekonomi pasar yang kapitalistis sejauh ini diindentifikasi sebagai penyebab ketimpangan dan ketidakadilan. Karena itu, selama 150 tahun terakhir, konsep-konsep sosialis membangun argumentasinya berdasarkan dua pilar berikut. Pertama, tuntutan distribusi kekayaan masyarakat dan kedua, tuntutan keharusan perubahan mendasar cara produksi dan pemilikan barang/kekayaan publik.

Adapun terkait solidaritas (persaudaraan), secara kasar bisa didefenisikan sebagai; Satu rasa sepertanggungan sebuah masyarakat yang bertopang pada kepentingan bersama demi kemaslahatan bersama, termasuk melawan kepentingan pribadi secara jangka pendek dan melampaui ambisi formal demi keadilan bersama. Dengan demikian, “solidaritas“ adalah sebuah “identitas sosial“ bersama yang tumbuh subur dalam kemiripan pola hidup dan nilai bersama. Betapa pun sulit rumusan istilah tersebut, ia sangat bermanfaat dan berakar dalam sejarah kemasyarakatan.

Tuntutan sosialisme demokratis terkait dengan nilai solidaritas adalah sebagai berikut:
a) Solidaritas bisa menjadi perekat sosial sebuah masyarakat bila didukung oleh (sistem) kelembagaan
b) Dalam sebuah (tatanan) sosial demokrasi, harus diuji bagaimana kelembagaan negara dan sipil berpengaruh pada pemantapan solidaritas.
c) Solidaritas harus selalu didiskusikan dalam keterkaitan dengan realisasi dari kebebasan dan kesetaraan.

Catatan Kritis Kedua
Sosialisme demokratis sebagai model pemikiran dan sosial demokrasi sebagai kekuatan politik sesungguhnya memiliki tradisi pemikiran panjang dan tidak bisa dilepaskan dari lahirnya gerakan buruh. Hanya saja, pertanyaan yang mungkin sulit dijawab adalah kapan tepatnya sosialisme demokratis lahir sebagai sebuah gagasan?.

Uraian Ebenstein dalam bukunya tersebut belum secara sistematik menjelaskan lahirnya sosialisme demokratis berikut tahap-tahap perkembangannya. Untuk menjawab pertanyaan dasar tersebut, penegasan Hermann Duncker paling tidak dapat membantu kita. Menurut Duncker, “Sejarah sosialisme dimulai dengan sejarah umat manusia” (Duncker 1931 : 9). Selain itu, ada pula yang mengaitkan gagasan sosialis dengan ajaran kristen purba. Sedangkan yang lainnya mengemukakan, bahwa sosialisme awal berasal dari Prancis atau Inggris.

Secara historis, era 1848 hingga akhir abad ke 19 ditandai dengan munculnya (sebuah) aliran politik. Tahun 1848 bukan hanya tahun di mana berlangsung revolusi borjuis di Jerman, tetapi juga merupakan tahun lahirnya manifesto partai komunis, sebuah misi yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engel. Untuk pertama kalinya, sebuah program gerakan buruh diformulasikan dalam bahasa yang mudah dimengerti. Landasan teori dari program politik ini kemudian diperkuat dalam karya-karya Karl Marx.

Asumsi mendasar dari sosialisme sebagai model pemikiran pada saat itu dapat disimpulkan sebagai berikut; pertama, menurut Marx, kapitalisme (pasar) telah mengakibatkan terjadinya ketimpangan dan ketidakbebasan banyak manusia terhadap beberapa orang yang “bebas”. Di satu sisi terdapat pemilik modal dan di sisi lain mereka yang tidak memiliki modal dan oleh karenanya harus menjual tenaganya dalam kerja upahan. Kedua, kapitalisme dibangun berdasarkan kondisi bahwa buruh tidak memperoleh upah yang sama dengan nilai barang yang diproduksi. Dengan demikian, pemilik modal selalu dapat mengakumulasi lebih banyak modal. Tidaklah penting, apakah pemilik modal tersebut dalam bentuk perorangan, perusahaan bermodal besar atau pemberi modal. Ketiga, ketimpangan dan ketidakbebasan yang dilihat sebagai akibat sistematis dari kapitalisme pasar, menegasikan tuntutan kebebasan yang sama bagi seluruh manusia. Dengan demikian, demokrasi sebagai sebuah tuntutan hanya bisa direalisasikan jika pemilikan alat produksi dimasyarakatkan (kolektifitas) serta keputusan tentang pemanfaatan modal diambil lewat struktur demokratis.

Teorinya Marx dan Engel tersebut dalam perkembangannya menjadi titik tolak bagi gerakan buruh, di samping berbagai teori dan ajaran lainnya. Meski demikian, dampak dari program politik tersebut ternyata terbatas karena Marx dan Engel dalam analisanya tidak memasukkan atau tidak mampu memperhatikan beberapa faktor kunci terutama terkait pertanyaan tentang relasi antara sosialisme dan negara.

Pertanyaan tentang relasi antara sosialisme dan negara inilah yang menjadi titik tolak bagi Ferdinand Lassalle (yang terlibat dalam kelahiran ADAV -Allgemeinen Deutschen Arbeitervereins- atau Perhimpunan Gerakan Buruh Jerman pada tahun 1863 di Leipzig) untuk melengkapi analisa Marx. Pemikiran Lassalle bertolak dari asumsi bahwa sistem negara dan sistem hukum harus berangkat dari kebebasan manusia.

Hasilnya, bagi Lassalle, basis UU harus merupakan cerminan dari kesadaran tentang hukum dari seluruh masyarakat. Dengan demikian, Lassalle telah mengemukakan dua titik tolak bagi diskusi tentang sosial demokrasi dan sosialisme demokrasi. Di satu sisi, pertanyaan terkait negara demokratis dan persyaratan sosialnya. Di lain sisi, adalah pertanyaan tentang strategi terbaik apakah yang memungkinkan bagi terpenuhinya kepentingan buruh.

Sebagai respon atas pemikiran Lasalle, muncul kritik dari Wilhelm Liebknecht dan August Bebel, pendiri utama “Sozialdemokratische Arbeiterpartei” (Partai Buruh Sosial Demokrasi), di Eisenach pada tahun 1869. Fokus kritik mereka terutama berkaitan dengan terlalu sederhananya program Lassalle. Menurut Wilhelm Liebknecht dan August Bebel, tanpa kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berhimpun serta transformasi mendasar dari negara, maka kepentingan buruh di dalam dan lewat negara, tidak akan tercapai.

Pada tahun 1875, “Allgemeine Deutsche Arbeiterverein” dan “Sozialdemokratische Arbeiterpartei” bergabung menjadi “Arbeiterpartei Deutschland” (Partai Buruh Jerman) di Gotha. Di Kekaisaran Jerman, dengan demikian, telah diletakkan fondasi bagi penyebaran sosial demokrasi termasuk melawan UU Sosialis Bismarck. Namun, penggabungan ini menyisakan titik-titik konflik yang awalnya di desak ke belakang, namun kemudian meledak dan berakibat pecahnya gerakan buruh.

Pecahnya Gerakan Buruh
Sejak tahun 1890-an, terjadi perdebatan dalam tubuh kubu sosial demokrat Jerman. Perdebatan tersebut menyangkut soal teoretis: akankah kapitalisme terjerumus ke dalam krisis yang mengakhiri eranya, sehingga dengan demikian, dalam perjuangan kelas proletariannya gerakan buruh dapat menanggulangi kapitalisme dan mencapai sosialisme?. Dan jika demikian, apakah artinya ini bagi strategi kubu sosial demokrat?.

Secara garis besar, kubu resvisonis terbagi ke dalam tiga kubu berbeda. Kubu pertama berada di garis kelompok Karl Kautsky dan August Bebel. Karl Kautsky (1854-1938) adalah pendiri dan penerbit harian Die neue Zeit yang teoreits dan berorientasi ke Partai Sosial Demokrat Jerman. Kautzki punya andil besar, sehingga analisa masyarakat marxian tertanam dalam tubuh Partai Sosial demokrat Jerman. Kautsky adalah penggagas utama Prgram Erfurt, di samping Eduard Bernstein.

Kubu kedua adalah kelompok yang menamakan dirinya revisionis, yang sangat dipengaruhi oleh Eduard Bernsten. Kelompok ini berupaya melakukan pengujian terhadap marxisme lewat data-data statistik. Eduard Bernstein (1850-1932) adalah salah satu wakil kaum “revisionis“ dalam sosial demokrat yang paling berpengaruh. Dalam bukunya Die Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie terbitan tahun 1899, ia mengulas marxisme secara kritis.

Di Kubu ketiga terdapat Rosa Luxemburg. Ia membantah pendapat Berstein. Menurut Luxemburg, kapitalisme tunduk pada kontinuitas persaingan para pemilik modal akibat struktur internalnya. Cara produksi kapitalis senantiasa membutuhkan ekspansi dan pengambilalihan tanah yang semula tidak termasuk ke dalam wilayah kapitalistik. Rosa Luxemburg (1871-1919) adalah salah seorang pendiri Partai Sosial Demokrat Polandia dan Litunia. Tahun 1899 ia ke Berlin. Ia adalah teoritisi utama sayap kiri partai sosial demokrat jerman, di antaranya adalah teori imperialisme. Tahun 1918 ia merupakan salah seorang pendiri partai komunis Jerman KPD. Tahun 1919 ia dibunuh oleh beberapa perwira ‚Freikorps‘ (pasukan sukarelawan).

Ketiga aliran dalam gerakan buruh di partai sosial demokrat Jerman tersebut masih dapat bekerjasama sebagai akibat tekanan berat kekaisaran Jerman. Sebagai konsekuensi persetujuan mayoritas partai sosial demokrat Jerman SPD terhadap kredit perang dan terpecahnya USPD dengan SPD serta dengan berakhirnya perang dunia pertama yang berkaitan masalah pembentukan masyarakat yang demokratis, akhirnya gerakan buruhpun terpecah.

Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 1919, partai sosial demokrat Jerman SPD memegang pemerintahan pertama Republik Weimar. SPD menghadapi perlawanan kubu konservatif, nasionalis dan reaksioner, dan kubu komunis. Meski demikian, untuk pertama kalinya, kubu kiri SPD ini secara politis bisa menerapkan cita-citanya di mana diskusi-diskusi tentang sosialisme muncul di sana-sini. Sementara kubu komunis dan sebagian kubu sosialis bekerja untuk pembentukan negara dengan dewan-dewan buruh dan prajurit, maka di pihak lain. kubu sosialdemokrat terlibat dalam pembentukan satu demokrasi keterwakilan dan kemudian membangunnya sampai tahun 1920 serta pada tahun-tahun berikutnya.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa polemik terjadi disebabkan oleh perbedaan antara revolusi dan reformasi. Di satu sisi, gerakan revolusioner berupaya meraih sebuah tatanan masyarakat baru, di mana di dalamnya terdapat pemikiran tentang pentingnya penghancuran hubungan pemilikan yang berlaku serta perubahan total konstitusi negara; sementara di sisi lain, para reformistis beranggapan bahwa tatanan masyarakat yang sesuai jamannya dengan konstitusi negara hendaknya dikembangkan menuju ke sosialisme yang demokratis.

Harus diakui bahwa “Sosialisme yang demokratis“, yang dilontarkan oleh Partai Sosial Demokrat Jerman sebagai gagasan, berangkat dari demokrasi parlementer dan pemisahan antara wilayah politik dan ekonomi. Di dalam kedua wilayah itu –baik politis maupun ekonomis-, hendaknya dicapai demokratisasi sesuai dengan kehendak kaum pekerja dan serikat-serikat buruh. Dalam kaitan ini, “sosialisme yang demokratis“ berarti satu pelengkap yang kompleks dan hubungan timbal balik dari ekonomi sosialistik dengan kaum buruh sebagai aktor-aktor utamanya (serikat-serikat buruh, partisipasi satuan usaha dan perusahaan) serta demokrasi parlementer.

Pada tahun 1959, Program Godesberg dari Partai Sosial Demokrat Jerman SPD telah menemukan dalil utamanya untuk “pasar bebas“. Menurut mereka, diperlukan “persaingan sebebas mungkin dan perencanaan sejauh yang dibutuhkan“. Dalam konteks ini, terdapat formula “hendak berpegang teguh pada “sosialisme yang demokratis“ sebagai sebuah tatanan ekonomi dan sosial yang baru, namun bersamaan dengan itu menerima kapitalisme pasar yang tunduk pada bentuk pengendalian di bawah primat politik. Dengan demikian, kubu sosialisme demokratis memisahkan dirinya dari ekonomi terencana seperti yang ditetapkan di Uni Soviet.

Harus diakui pula bahwa saat ini, sosialisme demokratis menghadapi tantangan globalisasi pasar terutama bagaimana menciptakan perimbangan antara kapitalisme pasar dengan demokrasi. Atau dengan kata lain, bagaimana mencapai sosialisme demokrasi di bawah persyarakat-persyaratan tersebut.

Dalam perkembangan berikutnya, setelah perang dunia kedua, semakin jelas muncul perbedaan antara SPD yang berorientasikan pada sosialisme yang demokratis dengan sosialisme negara. Lewat program Godesberg tahun 1959, secara resmi SPD memisahkan diri dari marxisme sebagai weltanschauung (pandangan dunia), meski juga tidak dari segenap analisanya. Dengan pemisahan itu, SPD juga melepaskan diri dari gagasan “satu perkembangan alami menuju sosialisme”. Sebaliknya, sosialisme dikatakan sebagai “tugas yang terus menerus“, yang dapat beralaskan religius dan filosofis. Paling utama dalam penentuan sosialisme demokratis adalah ketiga nilai-nilai dasarnya, yaitu “kebebasan, keadilan dan solidaritas“. Dari nilai-nilai dasar inilah, kubu sosial demokrasi menguraikan tuntutan-tuntutan utamanya, yakni pengakuannya terhadap kebebasan dan demokrasi.

Dari pemahamannya akan kebebasan, maka sosialisme yang demokratis kian jelas membedakan dirinya dari rejim-rejim totaliter, dan terutama dari apa yang dinamakan dengan demokrasi-demokrasi rakyat dari blok timur.


REFERENCES

Ebenstein, William. (1960). Great Political Thinkers. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
https://en.wikipedia.org/wiki/G._D._H._Cole
Hermann Duncker (1931). Einleitung, in: Max Beer, Allgemeine Geschichte des Sozialismus und der sozialen Kämpfe, mit Ergänzungen von Dr. Hermann Duncker, 7. Aufl., Berlin, S. 9.
Helga Grebing (2007). Geschichte der deutschen Arbeiterbewegung. Von der Revolution 1848 bis ins 21. Jahrhundert, Berlin.
Robert A. Dahl (2000). Polyarchy: Participation and Opposition, New Haven.

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *