Menjaring Suara di Tengah Pandemi; Catatan Pilkada Serentak 2020

Yusak Farchan
Pengamat Politik Citra Institute
Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional

Perpu Nomor 2 tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU menunda pelaksanaan pemungutan suara pilkada dari September ke Desember 2020. Meski demikian, hingga kini, KPU tampak belum siap sepenuhnya dengan skenario pilkada di tengah pandemi.

Dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pemilihan dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease (Covid-19), KPU memastikan sembilan tahapan Pemilihan 2020 dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Sembilan tahapan itu mulai dari pembentukan dan tata kerja PPK, PPS, KPPS, dan PPDP; pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih; pencalonan; pelaksanaan kampanye; laporan dan dana kampanye; pemungutan dan penghitungan suara; rekapitulasi hasil pengitungan suara dan penetapan hasil pemilihan; sosialisasi, pendidikan pemilih, dan partisipasi masyarakat; dan pengamanan perlengkapan pemilihan.

Protokol kesehatan yang dimaksud meliputi pelaksanaan rapid test bagi Penyelenggara, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi Penyelenggara, penyediaan sarana sanitasi, pengecekan suhu tubuh, pengaturan jaga jarak, pengaturan larangan berkerumun, pembatasan jumlah peserta di setiap tahapan, pelibatan tim kesehatan atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 serta pemanfaatan media daring untuk menggantikan pertemuan.

Dalam situasi normal, penyelenggaraan pilkada sejauh ini masih diwarnai dengan berbagai persoalan krusial antara lain daftar pemilih, kampanye, politik uang hingga tingkat partisipasi pemilih. Dengan tidak meragukan kapasitas penyelenggara pemilihan, pelaksanaan pilkada di tengah grafik covid-19 yang belum juga melandai, justru berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan baru, yang secara umum akan berimbas pada kualitas pilkada yang buruk. Apalagi, dukungan anggaran dari pemerintah juga tampak tersendat sebagai konsekuensi sempitnya ruang fiskal.

Kehendak Elite

Pelaksanaan pilkada (pemungutan suara) pada 9 Desember 2020 sebenarnya lebih merefleksikan kehendak kepentingan elite dari pada kepentingan publik secara luas. Setidaknya ada dua hal yang mendasarinya.

Pertama, dalam perspektif elite, pilkada harus dibaca dalam konteks “arus kas masuk”. Semua partai politik berpotensi besar mendapatkan logistik dari para kandidat kepala daerah sebagaimana yang lazim terjadi selama ini. Dengan kata lain, potensi uang masuk ke kantong-kantong partai (elite) politik menjadi hilang atau tertunda jika pilkada diundur terlalu lama. Momentum emas ini tentu tidak boleh “dihilangkan” begitu saja mengingat partai politik dituntut untuk dapat mengelola sumber-sumber pendapatan strategis.

Kedua, para kandidat kepala daerah yang sudah memulai proses sejak tahapan awal pilkada, dihadapkan pada situasi dilematis. Sebagian besar kandidat tentu sudah menghabiskan logistik yang tidak sedikit dalam proses awal kandidasi, baik kandidat yang menggunakan pintu parpol maupun pintu perseorangan. Jika pilkada ditunda dalam jangka waktu yang cukup lama, tentu beban (logistik) kandidat akan bertambah ekstra terutama dalam konteks menjaring dan “menjaga” kantong-kantong suara yang potensial berubah. Menjaga suara bukanlah pekerjaan mudah karena mengharuskan para kandidat (bakal calon kepala daerah) untuk menambah cadangan logistik selama momentum jeda tersebut.

Keputusan penyelenggaraan pilkada 9 Desember 2020 secara politik memang mengandung pesan optimisme dari stakeholders untuk bersatu melawan covid. Namun demikian, ruang-ruang pesimisme publik masih tetap menggelayuti mengingat kendala-kendala berat yang akan dihadapi.

Pandemi Membentuk Standar Cost Politik

Lumpuhnya aktifitas perekonomian terutama di daerah-daerah zona merah covid-19, melahirkan kantong-kantong kemiskinan baru. Problem utama yang dihadapi masyarakat tentu saja adalah menurunnya daya beli yang berimbas pada ketidakmampuan dalam menyediakan pasokan logistik (pangan) untuk rumah tangga mereka. Respon pemerintah atas problem krusial ini secara eksplisit ditunjukkan dengan program jaring pengaman sosial, salah satunya adalah bansos pangan (sembako). Insentif bahan pangan pokok ini dianggap dapat mengurangi langsung beban pengeluaran masyarakat miskin.

Dalam situasi darurat, model bansos sembako menjadi semakin populis dan berpotensi besar menjadi role model program unggulan para kandidat kepala daerah untuk menjaring suara. Pada titik inilah, kecenderungan meningkatnya politik transaksional akan terbuka lebar. Politik uang lagi-lagi menghantui proses sirkulasi kepemimpinan lokal di tengah pandemi.

Jika pada situasi normal, politik uang dianggap sebagai suatu “kelaziman”, maka pada era “normal baru” di mana pilkada diselenggarakan di tengah situasi covid-19 (bencana non-alam), politik uang semakin mengukuhkan kelaziman praktek electoral tercela tersebut. Dalam perspektif sosiologi politik, money politic dapat dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan politik. Interaksi politik meniscayakan adanya penggarapan timbal balik (reciprocity). Dengan kata lain, relasi resiprositas merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang.

Di sisi lain, massifnya program stimulus pangan (sembako) secara alamiah akan membentuk standar cost politik tersendiri. Standar cost dalam konteks ini merujuk pada kemampuan para kandidat yang distandarisasi dengan kemampuan mereka memberikan garansi material bagi praktek vote buying.

Yang patut dikhawatirkan adalah ketika situasi wabah ini justru dijadikan “legitimasi” bagi praktek politik transaksional karena dibangun di ataz azas “kepentingan bersama”. Para calon kepala daerah dengan mudah akan beralasan bahwa tidak ada program lain yang dianggap efektif kecuali politik uang (uang/barang). Politik uang dianggap sebagai kelaziman karena masyarakat pemilih membutuhkannya. Sementara itu, bagi pemilih, pilkada adalah momentum paling tepat untuk “menguji” sejauhmana kemampuan dan keseriusan calon kepala daerah. Inilah tantangan berat sekaligus pertaruhan bagi pelaksanaan pilkada yang sehat dan jurdil.

Pilkada di tengah pandemi pada akhirnya melahirkan arena baru money politic yang berpotensi dilakukan secara terang-terangan meskipun melanggar UU karena menjadi bagian dari tindakan pidana pemilu. Pertanyaannya adalah, apakah perangkat Badan Pengawas Pemilu siap untuk melakukan tindakan jika program ini pada akhirnya dianggap sebagai suatu kelaziman tersendiri di tengah pandemi yang belum selesai?. Catatan Bawaslu hingga saat ini setidaknya menunjukkan terjadinya dugaan politisasi bansos oleh calon kepala daerah petahana di 12 Provinsi dan 23 Kabupaten/ Kota dengan menempelkan gambar calon kepala daerah.

Secara teoritis, salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap praktek politik uang adalah desain institusi politik (van de Walle, 2007). Pilkada sebagai mekanisme demokrasi langsung jelas melibatkan pemilih secara langsung sehingga membuka ruang-ruang transaksional dengan kandidat. Calon pemilih terutama yang berstatus sebagai swing voters, adalah lahan empuk bagi alokasi-alokasi dan distribusi material sebagai manifestasi dari praktek vote buying yang dilakukan kandidat.

Sebagai pembanding, proporsi pemilih yang terlibat politik uang dalam pemilihan terakhir (Pemilu 2019) berada di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga di dunia. Politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam pemilihan umum (Muhtadi; 2019).

Meningkatkan Literasi Elektoral dengan Pemanfaatan ICT

Dalam era “normal baru”, pemanfaaatan information communication technology (ICT) untuk meningkatkan literasi electoral menjadi sangat mendesak, tidak hanya bagi KPU tetapi juga bagi para kandidat kepala daerah. Digital habbit perlu dioptimalkan untuk menjaga kualitas pilkada.

Bagi KPU, beberapa tahapan pemilihan dapat dimaksimalkan dengan menggunakan perangkat ICT sebagai bentuk adaptasi atas kondisi yang sedang terjadi. Pemutakhiran daftar pemilih misalnya, dapat dilakukan berbasis internet dengan menggunakan aplikasi e-coklit. Verifikasi faktual bakal calon perseorangan yang saat ini sedang berlangsung, dapat memaksimalkan penggunaan conference technology untuk mengimbangi praktek sensus konvensional.
Selain itu, pendidikan pemilih juga dapat dilakukan berbasiskan internet untuk meningkatkan digital engagement pemilih dan memperkuat network society yang cerdas terhadap literasi-literasi electoral.

Bagi kandidat kepala daerah, pilkada di tengah pandemi menuntut kreatifitas dalam berburu suara. Karena keharusan mengikuti protocol covid, model-model kampanye tatap muka sebagaimana yang lazim terjadi pada era normal, tentu memiliki keterbatasan. Model kampanye tatap muka, pertemuan terbatas, dialog mensyaratkan adanya mobilisasi massa sehingga menimbulkan pusat-pusat kerumunan yang berpotensi menjadi cluster baru penyebaran virus.

Sementara itu, menjaring suara secara virtual, juga bukan pekerjaan mudah karena keterbatasan perangkat infrastruktur teknologi informasi yang tersedia dan rendahnya tingkat literasi internet di sejumlah daerah.

Sejauh ini, KPU sedang mengatur penggunaan alat digital pemilihan pada masa pandemi Covid-19, yakni media daring, media pertemuan secara daring, dan multiplatform. Media daring diperlukan sebagai sarana penyebarluasan informasi, pertemuan dan rapat, sosialisasi, dan periklanan dengan memanfaatkan internet. Sementara itu aplikasi daring, seperti Zoom, Google Meeting, dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk menggelar pertemuan atau rapat-rapat. Adapun multiplaform merupakan kombinasi sejumlah aplikasi maupun platform untuk keperluan sosialisasi dan kampanye.

Virtual campaign seperti penggunaan perangkat Zoom, Google Meet dan aplikasi-aplikasi daring lainnya berpotensi hanya diikuti oleh kelas menengah ke atas yang sudah familiar dengan perangkat-perangkat teknologi virtual tersebut. Sementara itu, mengandalkan social media sepeti facebook, twitter, instagram, dll juga dihadapkan pada keterbatasan tersendiri karena sejauh ini, efektifitasnya tidak terlalu signifikan sebagai model kampanye, dibanding proram-program kampanye tatap muka secara langsung. Dengan kata lain, menyandarkan pada program kampanye daring an sich, tidak sepenuhnya optimal dalam menjaring suara pemilih.

Jaminan Kesehatan dan Proteksi Hak Pilih

Selain politik uang, kampanye, dan dukungan anggaran, jaminan kesehatan dan perlindungan hak pilih juga menjadi masalah krusial dalam pilkada di tengah pandemi. Jaminan kesehatan menjadi elemen penting pelaksanaan pilkada, tidak hanya bagi penyelenggara pemilihan tetapi juga pemilih. Protocol kesehatan terutama pada saat vote day (pemungutan dan penghitungan suara) harus benar-benar diimplementasikan dengan kontrol ketat. Tindakan perlindungan di tempat (protection measures in place) perlu dipertimbangkan sebagai bentuk jaminan kesehatan bagi pemilih.

KPU harus memastikan seluruh warga negara dapat menggunakan hak pilihnya termasuk pemilih yang sedang menjalani karantina wajib (mandatory quarantine). Pemilih yang masuk dalam kategori Orang Dalam Pengawasan (ODP), maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP), meskipun tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS, namun tetap harus dilindungi hak pilihnya dengan pelayanan khusus oleh KPPS bersama Pengawas dan Saksi bekerjasama dengan Tim Kesehatan atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Perlindungan hak pilih ini menjadi penting untuk memastikan kualitas penyelenggaraan pilkada.

Meskipun banyak tantangan, proses rekonsolidasi demokrasi lokal harus tetap berjalan sebagai konsekuensi atas keputusan politik bersama yang telah diambil. Ekspektasi publik atas pilkada yang berkualitas di tengah pandemi harus ditafsirkan sebagai energi positif bagi terwujudnya tata kelola pemilihan yang sehat dan jurdil.

*Artikel ini telah diterbitkan sebelumnya di akurat.co tanggal 29 Juni 2020. Link Artikel: : https://akurat.co/id-1152752-read-menjaring-suara-di-tengah-pandemi-catatan-pilkada-serentak-2020

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *