Menimbang Peta Capres 2024

Yusak Farchan
Pengamat Politik Citra Institute; Akademisi Universitas Sutomo

Deklarasi Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024 yang digelar Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) di Jakarta (20/10), menjadikan atmosfer pertarungan Capres 2024 semakin dinamis. Meskipun deklarasi dan dukungan serupa sudah digemakan oleh kekuatan politik lain seperti massifnya dukungan terhadap Prabowo, Ganjar Pranowo, dan Airlangga Hartarto, tetapi deklarasi Anies memberikan political effect tersendiri dalam arena pertarungan Capres ke depan.

Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Anies memainkan peran strategis dalam bandul pertarungan Capres ke depan. Pertama, Anies telah menorehkan sejarah gemilang atas dekonstruksi strukturalisme partai politik dalam arena sirkulasi kepemimpinan politik. Kemenangan Anies dalam Pilkada DKI 2017 adalah afirmasi atas pola dekonstruksi strukturalisme tersebut. Anies bukanlah kader partai, bukan juga pengurus partai. Meski demikian, Anies mampu menjadi magnet sehingga mendapat dukungan partai politik, seperti PKS dan Gerindra saat itu.

Kedua, Anies adalah simpul, harapan utama dan pelampung bagi kelompok-kelompok yang bersikukuh menghendaki adanya representasi pemimpin atau politisi Muslim berikut alokasi-alokasi distribusi material kepada umat Islam berdasarkan logika mayoritas.

Dalam medan candidacy pilpres ke depan, Anies tampak cukup confidence terkait dukungan partai politik. Paling tidak, sejauh ini PKS belum memiliki kader-kader yang potensial menang jika dilempar ke pasar pemilih Pilpres. Kebuntuan PKS atas calon-calon internal tersebut, secara politik tentu menguntungkan Anies. Selain itu, preferensi dan dukungan politik terutama kelompok-kelompok modernis Islam harus dikelola baik oleh PKS maupun Anies sendiri.

Tiga Poros Utama

Tiga poros utama dalam analisis ini bukan didasarkan pada poros kandidat (figur), tetapi lebih merefleksikan poros atau fragmentasi kekuatan partai-partai politik sebagai satu-satunya pemegang otoritas politik dalam mengusung pasangan Capres-Cawapres. Tiga poros berikut ini juga bersifat fleksibel, cair dan bergerak dinamis, bergantung pada variabel-variabel penting lainnya seperti sumber daya logistik dan infrastruktur partai dalam menghadapi pemilu. Dengan tingginya angka presidential treshold (20% kursi atau 25% suara sah nasional), setidaknya akan ada tiga poros utama dalam candidacy Pilpres ke depan.

Poros pertama tentu adalah PDIP yang memegang supremasi elektoral dua kali pemilu berturut-turut (Pemilu 2014 dan 2019). Sebagai the rulling party yang mengendalikan jalannya kekuasaan, PDIP tentu berkepentingan untuk memenangkan kembali Pilpres 2024. Dengan modal 128 kursi parlemen (DPR RI), PDIP sudah cukup mengusung Capres tanpa koalisi. Sejauh ini, di internal PDIP, berdasarkan radar beberapa lembaga survey terakhir, paling tidak ada tiga kader PDIP yang potensial; Ganjar Pranowo, Puan Maharani dan Tri Rismaharini. Dengan elektabilitas Ganjar yang melesat jauh di atas Puan dan Risma, tentu Ganjar yang paling berpeluang menang jika diusung. Di sinilah kepiawaian politik Sang Ketua Umum PDIP akan diuji untuk mengambil keputusan-keputusan politik strategis. Meskipun Ganjar tampak dikunci pergerakannya oleh partainya sendiri, namun PDIP tak bisa mengabaikan kecenderungan dukungan politik massa.

Hampir senada dengan Jokowi, kelebihan Ganjar adalah mampu mengambil hati pemilih dengan menyuguhkan gaya kepemimpinan politik non formal yang “tak berjarak” dengan rakyat. Kelebihan lain, Ganjar adalah figur yang adaptif terhadap modernitas dan perkembangan teknologi informasi sebagaimana Ridwan Kamil. Jika PDIP tidak memberikan dukungan kepada Ganjar, maka tren elektabilitas Ganjar yang terus naik berpotensi “mencuri” perhatian partai-partai politik lainnya.
Dalam poros pertama ini, PDIP akan dibayang-bayangi dengan kecenderungan Gerindra untuk tetap mengusung Ketua Umumnya, Prabowo Subianto sebagai Capres. Dalam konteks ini, Gerindra tetap membutuhkan teman koalisi untuk memenuhi syarat formal pencalonan. Daripada membangun koalisi dengan partai-partai lain, mesin politik Gerindra akan lebih prima jika berkoalisi dengan PDIP mengingat tingkat party identity PDIP yang cukup tinggi. Persoalannya adalah; apakah PDIP bersedia mengusung Prabowo sebagai Capres dengan kompensasi mendapatkan Cawapres saja sebagaimana skenario yang berkembang terkait paket Prabowo-Puan?. Di sinilah komitmen-komitmen politik Mega-Prabowo yang mungkin terjadi sebelumnya akan diuji kembali.

Di sisi lain, meskipun elektabilitas Prabowo masih merajai di berbagai hasil survey mutakhir, namun angka elektabilitas tersebut bukanlah angka optimis. Sebagai Calon Presiden dua kali, dan Cawapres satu kali, elektabilitas Prabowo mestinya bisa menyentuh level optimistis, setidaknya di atas 40%. Inilah kendala utama yang akan dihadapi Prabowo di tengah bayang-bayang menurunnya tren elektabilitas.

Prabowo tampaknya harus merubah total gaya formal politiknya yang cenderung “kaku” dan “berjarak” tersebut agar bisa bersaing dengan lawan-lawan politiknya. Jika Gerindra tidak lihai dalam mengelola dan merespon preferensi politik pemilih, maka bisa saja Prabowo terlempar sebagai “kartu mati” yang akan menggenapi empat kekalahan beruntun dalam pemilu. Narasi politik yang dibangun Prabowo terkait nasionalisme dan kebangsaan tampak kurang marketable lagi terutama di kalangan pemilih muda mengingat kompleksitas dan tantangan zaman yang jauh berbeda. Di sinilah kelihaian figur-figur baru seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil yang mampu menunjukkan kapasitas adaptifnya terhadap perubahan zaman dengan narasi-narasi yang lebih populis.

Di poros kedua, Partai Golkar berpotensi memimpin koalisi partai-partai papan tengah. Sebagai pemenang pemilu dengan jumlah kursi terbesar kedua setelah PDIP, Golkar rasanya tak akan absen dari pertarungan Calon Presiden. Sejauh ini, dukungan terhadap Ketua Umum, Airlangga Hartarto sebagai Calon Presiden sudah bergemuruh di internal Partai Golkar. Hanya saja, tidak mudah bagi Golkar untuk memimpin poros ini mengingat elektabilitas Airlangga yang masih cukup rendah.

Golkar sepertinya akan tetap mengikuti skenarionya sendiri dengan mengusung Sang Ketua Umum sebagai Capres ketimbang “mengalah” dan mengikuti kecenderungan dukungan pemilih di akar rumput. Jika Golkar tetap mengusung Ketua Umum nya sebagai Capres, maka Golkar harus mampu meyakinkan partai-partai lain untuk bergabung dalam koalisi. Golkar masih membutuhkan kawan koalisi, setidaknya satu hingga dua partai politik agar bisa mengajukan calon. Soal bahwa Golkar misalnya akan menurunkan targetnya dengan memilih opsi Cawapres, tentu kembali pada realitas politik yang berkembang.

Sementara itu, di poros ketiga, akan ada bayang-bayang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sang Ketua Umum Partai Demokrat. Meskipun pernah menelan pil pahit dalam Pilkada DKI 2017, dan direcoki dengan geger kudeta Demokrat, tetapi profil politik AHY tak bisa dianggap remeh. Dalam konteks persofinikasi calon, AHY memiliki sejumlah variabel penting yang akan menyumbang elektabilitasnya. Variabel-variabel itu antara lain; Jawa; tentara; muda; dan ganteng. Namun demikian, kekalahan AHY dalam pilkada DKI telah mementahkan tesis atas variabel-variabel penting tersebut. Kekalahan di pilkada DKI Jakarta mengharuskan AHY untuk bisa lebih adaptif lagi dalam merespon perubahan-perubahan politik yang terjadi.

Massifnya perkembangan teknologi informasi menandai bergesernya ekspektasi publik atas profil kepemimpinan politik yang tidak lagi bertumpu pada sentimen primordialisme dan konfigurasi sipil-militer. Inilah tantangan AHY saat ini. Oleh karenanya, AHY harus mengejar ketertinggalannya dengan figur-figur lain seperi Ganjar dan Anies dengan penekanan pada narasi-narasi politik yang lebih bersifat populis.
Dengan modal 54 kursi parlemen (7,77 persen suara), Partai Demokrat masih harus bekerja ekstra untuk memimpin poros tersebut dengan menghadirkan koalisi yang solid agar bisa mendapatkan kepercayaan publik.

Muhaimin Iskandar, sang Ketua Umum PKB, juga berpotensi memimpin poros ketiga ini. Basis dukungan Islam tradisional yang menjadi penyokong utama adalah modal politik penting Cak Imin dalam medan pertarungan pilpres. Meskipun Cak Imin dikenal sebagai politisi piawai yang insting politiknya sangat tajam, tetapi untuk menjadi pemimpin poros, Cak Imin harus bekerja ekstra untuk meyakinkan partai-partai politik lain bergabung dalam skema koalisi. Sama seperti Demokrat, PKB membutuhkan tambahan partai pendukung agar bisa mengusung capres-cawapres.

Sementara itu, positioning Anies yang telah dibahas sebelumnya bisa saja berada dalam poros kedua atau ketiga. Semua kembali pada bagaimana membangun formula koalisi taktis dan strategis yang diharapkan tidak semata-mata bertumpu pada pragmatisme (alokasi dan distribusi kekuasaan).

Ekspektasi atas lahirnya tiga poros tersebut tentu didasarkan pada pengalaman buruk Pilpres 2019 yang hanya menghadirkan dua poros utama sehingga menyebabkan terjadinya gejala divided society. Saat itu, segmentasi masyarakat menjadi semakin terpolarisasi ke dalam dua kutub yang berseberangan secara diametral, yakni pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dan pendukung Prabowo-Sandi. Kondisi ini cukup menguras energi dan menghadirkan ketegangan politik tinggi.

Yang penting menjadi catatan, calon-calon yang berasal dari partai politik baik dalam kapasitasnya sebagai ketua umum maupun elite partai lebih berpeluang mendapatkan tiket pencalonan mengingat otoritas tunggal partai politik sebagai pemegang kendali pencapresan. Meskipun elektabilitas menjadi variabel penting dalam skenario pemenangan, tetapi pintu pencalonan tetap menjadi domain dan wewenang partai politik. Bisa saja, nama-nama yang beredar dengan elektabilitas tinggi seperti Ganjar dan Anies, tidak bisa melenggang mulus dalam medan pertarungan karena tidak mendapatkan dukungan partai-partai politik.

Artikel ini telah diterbitkan di Mediaindonesia.com, 22 Oktober 2021

https://mediaindonesia.com/opini/441766/menimbang-peta-capres-2024

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *