Nawari
Peneliti Muda Citra Institute

Secara politik dan yuridis, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP resmi berdiri sebagai lembaga pada tanggal 28 Februari 2018 melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi Widodo. BPIP sendiri adalah sebuah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab penuh kepada Presiden serta memiliki tugas membantu Presiden terutama dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh masyarakat Indonesia

Namun dalam perjalanannya BPIP dinilai sebagai lembaga yang mubazir mengingat tugas dan fungsinya sampai saat ini belum dirasakan. Tak hanya itu kehadiran BPIP dinilai lebih banyak mengundang kegaduhan publik, salah satunya soal lomba artikel penulisan yang berjudul “Menghormati Bendera Menurut Hukum Islam” dan “Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam”.

Serangkaian kegaduhan yang ditimbulkan oleh BPIP merefleksikan kehadiran BPIP tidak membuat Pancasila menjadi operasional terutama apabila membenturkan masalah agama dan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini juga yang mengindikasikan wacana pembubaran tersebut terus berkembang.

Bukan tidak penting bahwa Pancasila harus diperkuat oleh seluruh masyakat Indonesia, akan tetapi jika Pancasila hanya dijadikan alat kepentingan kekuasaan untuk memberangus lawan poltiknya hal inilah yang sangat berbahaya. Apalagi jika Pancasila hanya diasosiasikan semata bersandar pada perspektif kekuasaan. Bukan hal yang mustahil itu terjadi mengingat Pancasila dalam historisnya pernah menjadi alat pengontrol kekuasaan.

Pancasila dari Masa ke Masa

Apabila melihat sedikit ke belakang tentang perjalanan Pancasila dan hubunganya dengan konfigurasi politik kekuasaan di era orde lama, maka kita akan disuguhkan dengan masa trial and eror serta turbulensi kekuasaan atas nama Pancasila. Hal itu muncul dengan ditandai adanya konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang berupaya merangkul kelompok komunis yang selama periode 1950-an kerap tidak diajak berkompromi dalam urusan politik oleh kelompok nasionalis dan agamis dalam pembentukan kabinet parlementer walaupun mereka mempunyai perwakilan senator keemat di DPR .

Konsep Nasakom inilah merupakan awal Pancasila sebagai alat politik kekuasaan orde lama. Semua seolah dipaksa setuju, padahal kala itu bertentangan kelompok agamis. Menurut Arrsa dengan dikeluarkannya ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden (Deideologi Pancasila:2011)

Dimasa Orde Baru keberadaan Pancasila ditentukan oleh rezim penguasa, ketika Orde Baru berkuasa Pancasila menjadi dogma statis karena dikultuskan dengan menerapkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Orde Baru melanjutkan kecenderungan penggunaan Pancasila sebagai alat kekuasaan.

Soeharto memberi tafsir tunggal kepada Pancasila serta menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tidak bisa diganggu gugat. Diera tersebut formulasi yang dicetuskan oleh Soeharto untuk memberikan tafsir terhadap Pancasila dengan dibentuknya pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) yang mana eksistensi keberadaannya diperkuat melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978.

Formulasi (P4) yang digagas orde baru sama halnya dengan keberadaan BPIP yang dibentuk di era Jokowi walaupun secara struktur dan format kelembagaan berbeda secara hukum. Namun tidak menutup kemungkinan BPIP juga dijadikan sebagai alat kekuasaan atas nama Pancasila.

Karenanya ide pembubaran BPIP layak diapresiasi mengingat secara historis Pancasila dijadikan alat penguasa apalagi dalam proses pembentukan dan tugasnya secara hukum mempunyai kesaamaan tugas dengan lembaga kementerian.

Menggugat Pembentukan BPIP

Secara teoritis dan prakteknya perkembangan lembaga baru seperti BPIP selain lembaga negara yang telah eksis sebelumnya menjadi fenomena menarik yang penting untuk dicermati apabila dikaji lebih mendalam berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi berdasarkan aspek yuridis dari pembentukan lembaga tersebut. Setidaknya ada beberapa hal mendasar yang perlu digaris bawahi dalam menyoroti proses pembentukan BPIP dalam menjalankan tugasnya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.

Pertama terdapat tumpang tindih kewenagan BPIP dan Lembaga kemeneterian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) yang menaungi sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Mengingat pasal 37 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 mewajibkan sistem pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi harus memuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan.

Mutatis mutandis sistem pendidikan tersebut secara jelas mepelajari dan mensosialisasikan Pancasila secara gamblang dan menyeluruh. Artinya sistem pendidikan tersebut lebih efesien dan efektif untuk mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila karena mampu menyisir semua elemen masyarakat dibandingkan dengan lembaga BPIP.

Kedua, kewenangan untuk menjalankan penanaman ideologi Pancasila merupakan salah satu tugas fungsi dari MPR sesuai dengan isi 4 (empat) Pilar demokrasi dalam berbangsa dan bernegara. Kewenangan tersebut dipertegas melalui Undang-undang No 17 Tahun 2014 Jo Undang-undang No 42 Tahun 2014 Tentang MD3.

Adanya benturan kewenangan BPIP dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan lembaga kementerian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan BPIP layak dibubarkan karena tugas dan fungsinya mempunyai kesamaan dengan salah satu tugas MPR dan lembaga kementerian. Peristiwa tersebut juga menandakan dasar pembentukan BPIP tidak mencermati ilmu perundang-undangan sebagai pijakan dan prosedur dalam membuat sebuah kebijakan.

Keterangan:

Artikel ini telah diterbitkan di Times Indonesia, 17 Oktober 2021
https://www.timesindonesia.co.id/read/news/376367/menggugat-eksistensi-bpip

Categories: Kolom

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *