Membaca Peluang Amandemen Konstitusi
Sebagai sebuah produk hukum, sebenarnya perubahan atau amandemen konstitusi adalah sesuatu yang wajar dan lazim di negara manapun. Amerika Serikat saja yang dianggap sebagai babonnya demokrasi moderen, sejak ditetapkannya konstitusi Amerika Serikat pada 17 September 1787, sampai saat ini tercatat sudah melakukan 27 kali amandemen terhadap konstitusi negaranya.
Perubahan merupakan keniscayaan, karena sebagaimana kita pahami bersama, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. pun tidak terkecuali sebuah konstitusi, seiring berkembangnya zaman tentunya beberapa hal yang diatur dalam sebuah konstitusi juga tidak menutup celah untuk dilakukan perubahan.
Dalam satu kaidah usul fiqih juga disebutkan bahwa “taghoyuril ahkam bitaghoyuril zaman wal makan”, berubahnya suatu hukum sangat dipengaruhi oleh berubahnya kondisi zaman dan keadaan.
Hal ini juga menjadi sangat relevant apabila kita kaitkan dengan salah satu kredo hukum yang berbunyi “het recht hink achter de feiten aan” yang terjemahan bebasnya kurang lebih bermakna bahwa hukum tertulis akan selalu tertinggal tertatih-tatih dibelakang kenyataan, karena hukum tertulis memiliki kelemahan pada ketidakmampuannya untuk dibaca dan dimaknai secara bebas, pasal-pasal dalam peraturan tertulis tafsirnya sangatlah terbatas dan statis, sementara kehidupan bernegara sangatlah luas dan dinamis.
Dikarenakan kesadaran akan hal itulah, dalam konteks konstitusi negara Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para penyusun konstitusi negara kita juga sudah menyediakan aturan terkait mekanisme perubahan atau amandemen pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar yang aturan normatifnya terdapat terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan Pasal 37 ayat (4) Undang-undang Dasar Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1), perubahan terhadap Undang-undang Dasar dimungkinkan apabila usulan tersebut diajukan oleh paling sedikit 1/3 jumlah anggota MPR RI. Berikutnya dalam Pasal 37 ayat (3) disebutkan bahwa usulan perubahan itu haruslah dibahas oleh 2/3 dari keseluruhan jumlah anggota MPR RI, dan setelahnya perubahan terhadap Undang-undang Dasar hanya bisa dilakukan dengan persetujuan minimal 50% plus 1 dari seluruh total Anggota MPR RI.
Kemungkinan Amandemen dilakukan Oleh Rezim Sekarang
Sekarang mari kita coba aplikasikan ketentuan normatif di atas dengan kondisi riil jumlah Anggota MPR RI saat ini, yaitu Anggota MPR RI Periode 2019-2024. Anggota MPR RI terdiri dari unsur Anggota DPR RI dan unsur Anggota DPD RI. Untuk masa bakti yang sekarang jumlah total Anggota MPR RI adalah 711 orang, yang merupakan gabungan dari 575 Anggota DPR dan 136 Anggota DPD.
Berarti syarat minimum pengajuan perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar haruslah diusulkan oleh 237 Anggota MPR RI (1/3 jumlah Anggota MPR RI), kemudian pembahasan perubahannya haruslah dihadiri oleh 474 Anggota MPR RI (2/3 jumlah Anggota MPR RI) dan yang terahkir, perubahannya harus disetujui minimal oleh 356 Anggota MPR RI (50% plus 1 dari jumlah Anggota MPR RI).
Apabila kita melihat ketentuan di atas, kemudian kita bandingkan dengan sebaran kursi legislatif partai-partai koalisi pemerintah maka secara normatif, apabila rezim saat ini menghendaki perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar, tentulah sangatlah dimungkinkan, tingkat keberhasilan terpenuhinya persyaratan kuantitatif diatas sangatlah tinggi.
Sekedar gambaran, saat ini ada 9 Fraksi di DPR RI dengan perolehan jumlah kursi, secara berurutan dari yang terbesar sampai yang paling kecil, sebagai berikut ; PDI Perjuangan 128 orang/kursi, Golkar 85 orang/kursi, Gerindra 78 orang/kursi, Nasdem 59 orang/kuris, PKB 58 orang/kursi, Demokrat 54 orang/kursi, PKS 50 orang/kursi, PAN 44 orang/kursi, PPP 19 orang/kursi.
Tercatat semula 6 partai merupakan koalisi pendukung pemerintah yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP, ditambah baru-baru ini PAN menyatakan merapat ke koalisi pemerintah menjadi partai yang ke 7. Dengan melihat total jumlah kursi 7 partai koalisi pemerintah yang keseluruhannya apabila digabungkan sudah mencapai angka 471, maka sudah lebih dari 1/3, lebih dari cukup untuk hanya sekedar mengajukan usulan amandemen. Kurang sedikit dari 2/3 jumlah Anggota MPR RI saat ini, yang untuk melakukan pembahasan diperlukan 474 Anggota MPR RI, jadi hanya kurang 3 orang, dan itu bisa diambilkan dari 136 Anggota DPD RI yang tentunya terbuka lebar peluangnya untuk bisa didekati oleh rezim.
Sindrom Tiga Periode
Sebenarnya wacana untuk menghidupkan kembali haluan negara semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) zaman Presiden Soeharto, atau seperti Pola Pembangunan Semesta Berencana yang ada di zaman Presiden Soekarno dan juga penataan ulang lembaga ketatanegaraan adalah isu utama yang tercantum dalam rekomendasi amandemen yang dikeluarkan oleh MPR RI Periode 2014-2019. Hal ini dikarenakan arah pembangunan negara pasca reformasi tidak berjalan berkelanjutan. Masing-masing rezim ataupun pemimpin membawa negara sesuai selera dan arah yang dikehendakinya, ketika terjadi pergantian rezim ataupun pemimpin maka berubah lagi prioritas pembangunannya.
Akan tetapi isu utama tersebut tenggelam dengan munculnya isu yang lebih sensitif yaitu adalah wacana untuk membuka peluang perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode dari yang saat ini hanya dibatasi dua periode.
Denny Indrayana dalam artikelnya berjudul Masa Jabatan Presiden yang dimuat oleh Kompas tanggal 4 September 2021 menyajikan data yang cukup menarik, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015 tercatat ada 15 pemimpin negara afrika yang mengubah konstitusi negaranya agar bisa tetap menjabat sebagai pimpinan negara untuk periode yang ketiga. Dari ke 15 negara tersebut, 4 gagal dan 11 berhasil, diantara yang berhasil merubah kontitusi tersebut adalah Presiden Uganda Yoweri Museveni, Presiden Guinea Lansana Conte, Presiden Burundi Piere Nkurunziza dan Presiden Rwanda Paul Kagame. Trend untuk melakukan perubahan kontitusi guna memperpanjang masa kepemimpinan negara tersebut oleh Deny Indrayana disebut sebagai Pandemi Termisme Ketiga, dalam tulisan ini saya menyebutnya Sindrom Tiga Periode.
Apakah wacana perubahan atau amandemen konsitusi di negeri kita ini juga sebagai imbas dai serangan sindrom tiga periode, ataukah memang murni semata-mata untuk mengakomodir kebutuhan hukum dan perkembangan zaman, biarlah waktu yang menjawabnya, tugas kita adalah selalu iling lan waspada, bahwa nafsu angkara bisa menelikung niat mulia disepanjang perjalanan yang penuh godaan kuasa.
Membuka Kotak Pandora
Kekuasan memiliki dua muka yang saling kontradiksi, satu sisi kekuasaan bisa dijadikan alat untuk mendatangkan kesejahteraan dan ketentraman, satu sisi lainnya bisa dijadikan alat untuk menebar angkara dan kesengsaraan demi pemenuhan kepentingan gologan tertentu semata, tergantung dari siapa yang menggunakannya. Begitu juga kuasa untuk melakukan perubahan atau amandemen konstitusi, yang dalam catatan sejarah pasca reformasi tidak semua rezim memiliki kesempatan untuk melakukannya, apabila perubahan atau amandemen ini dilakukan dengan penuh hikmat dan kebijksanaan sebagaimana amanah luhur Pancasila, maka kebaikan lah yang akan dihasilkan. Akan tetapi sebaliknya, apabila perubahan atau amandemen konstitusi ini dilakukan semata-mata berdasarkan kepentingan dan syahwat politik segelintir golongan saja, maka amandemen konstitusi sama seperti membuka kotak pandora.
Ketika kotak pandora dibuka, banyak hal yang tak terduga bisa terjadi, mungkin tidak hanya isu 3 periode, isu-isu lain yang tidak pernah kita bayangkan bisa saja masuk ditengah-tengah proses pembahasan. Kalaupun terjadi, tentunya ini adalah tugas para pemikir negeri, para cerdik cendikia dan bijak bestari juga para negarawan sejati untuk mengawal dengan nalar dan nurani yang penuh hikmat dan kebijaksanaan, bukan penuh kalkuasi keuntungan dan agenda kepentingan pribadi atau golongan.
Note : Artikel telah diterbitkan di Akurat.co 13/10/2021
0 Comments