Jalan Tengah Presidential Threshold
Ambang batas pencalonan Presiden atau yang dikenal dengan istilah presidential threshold kembali mencuat ke permukaan publik setelah ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendorong agar ambang batas pencalonan presiden ini dihapus demi mencegah politik transaksional. Menurutnya presidential threshold 20% dapat mengakibatkan kecendrungan politisi untuk melakukan tindak pidana korupsi akibat biaya politik yang tinggi.
Pernyataan ketua KPK tersebut nampaknya memberikan angin segar terhadap para kelompok yang menolak Presidential Threshold mengingat Sebelumnya, presidential threshold 20% mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, mulai dari akademisi hingga politisi. Tak ayal diktum pasal yang mengatur mengenai Presidential Threshold 20% berkali-kali dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Namun upaya semua judicial review terhadap berlakunya Presidential Threshold 20% sampai saat ini belum mendapatkan restu dari Mahkamah Konstitusi. Salah satu dalil yang kerap muncul dari MK terhadap gugatan tersebut karena PT dianggap sebagai bagian dari legal policy pembentukan undang-undang. Hal tersebut yang menyebabkan MK selalu berpegang teguh bahwa penentuan presentase syarat ambang batas pencalonan sepenuhnya diserahkan kepada pembuat undang-undang yaitu legislatif dan eksekutif.
Kompleksitas Presidential threshold Dalam Model Pemilu Serentak
Sensisitifisme mengenai Presidential threshold 20% nampaknya akan terus membekas dihati para tokoh yang mempunyai trend survei elektabilistas yang baik yang mempunyai peluang yang cukup tinggi untuk mengikuti hajatan demokrasi lima tahunan, pasalnya mereka akan tersandung dengan ambang batas perolehan suara yang harus dicapai oleh partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum. Mengingat dalam sistem pemilu kita ambang batas pencalonan sudah menjadi role model yang sudah dikodifikasi melalui peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut secara normatif dapat dilihat dalam diktum Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberikan syarat bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi di DPR paling sedikit 20% atau memperoleh suara sah nasional sebanyak 25% pada pemilihan legislatif.
Adanya ambang batas pencalonan tersebut secara teori bertentangan dengan semangat keadilan pemilu (electoral justice) yang secara prinsip setiap orang berhak untuk mengusung calon dengan hak-hak setara candidacy right, namun dengan ambang batas pencalonan tersebut menyebabkan mereka tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau wakil presiden. Hal tersebut dalam kaca mata konsep keadian disebut mereduksi keadilan warga negara itu sendiri.
Tak hanya itu, problematika mengenai Presidential threshold tidak hanya bertumpu terhadap komposisi syarat pencalonan. Melainkan juga menjadi problematika yang baru dalam sistem pemilihan umum yang menggunakan rule model pemilihan umum serentak yang berimplikasi terhadap mundurnya kualitas demokrasi yang memungkingkan gemuknya koalisi yang cukup dominan terhadap partai yang memenangkan pemilihan presiden. Hal tersebut akan menyebabkan hilangnya oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Mengingat pemilu serentak akan secara otomatis partai-partai akan memilih berkoalisi dengan partai yang memenangkan pemilu tersebut.
Presidential Threshold yang tinggi dalam konsep pemilu serentak juga akan menimbulkan ketidakpastian dan memungkinkan mengdiskreditkan partai baru atau partai yang sebelumnya tidak masuk masuk ke dalam parlemen. Pasalnya penentuan ambang batas pencalonan tersebut bersandar terhadap hasil pemilihan legislatif tahun sebelumnya.
Selain itu konsep ini akan memberikan polarisasi yang tinggi karena hanya melahirkan dua calon presiden dalam kontestasi pemilu. Hal itu dapat kita lihat dalam peristiwa Pilpres 2019. Kompleksitas mengenai ambang batas tersebut merefleksikan untuk melakukan daur ulang terhadap ketentuan tersebut.
Mendaur Ulang Presidential Threshold
Kerumitan mengenai ambang batas pencalonan presiden nampaknya tidak menemukan jalan keluar jika hanya berpacu terhadap para politisi senayan dan menunggu restu dari Mahkamah Konstitusi, mengingat konfigurasi politik di DPR dan ikhtiar judial review tidak memungkinkan untuk merubah ketentuan tersebut.
Maka satu satunya solusi yang bisa merubah suatu peraturan hukum yang sudah berbentuk undang-undang adalah dengan adanya dukungan dan dorongan dari masyarakat kepada Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu). Hal itu bisa saja dilakukan oleh Presiden jika ada dorongan yang besar dari masyarakat sipil kepada Presiden atau Presiden mengganggap Presidential threshold sebagai suatu kegentingan nasional.
Jalan Tengah Presidential Threshold
Sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung, problematika mengenai ambang batas syarat mengajukan calon presiden dan wakil presiden bukan kali ini mengemuka ke ruang publik. Isu ini kerap kali melengkapi komposisi isu menjelang hajatan demokrasi lima tahunan, intrik hingga hingar bingar sudah tentu menjadi alat pemupuk utama mengenai Presidential Threshold.
Sebagian kalangan masih teguh dengan pendirianya bahwa pemberlakuan ambang batas dalam pencalonan presiden ini mempunyai peran penting guna menciptakan sistem presidensil yang lebih kuat. Adanya dukungan awal di parlemen melalui ambang batas dinilai akan memudahkan calon terpilih dalam melaksanakan program-program kerjanya di kemudian hari.
Tak hanya itu sebagian kelompok yang mendukung adanya Presidential Threshold terus mengkampanyekan ambang batas untuk pemilihan presiden dinilai dapat memperkuat partai. Pasalnya Presiden dan wakil yang terpilih, punya kekuatan politik terutama di parlemen, sehingga presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensil serta menerapkan sistem pemeilihan umum yang kualitas tinggi.
Namun sebaliknya, sebagian pihak lain berpandangan berbeda. Syarat ambang batas dianggap mengurangi hak rakyat untuk memperoleh pemimpin yang diinginkan. Sistem ini juga mengakibatkan melahirkan dua calon pemimpin untuk mengikuti hajatan demokrasi mengingat ambang batas mensyaratkan nilai persen yang cukup tinggi.
Selanjutnya pada tataran sistem pemerintahan presidensil, yang sering dikampenyekan adanya keseimbangan antara parlemen dan lembaga eksekutif dianggap tidak perlu untuk memberlakukan sistem Presidential Threshold. Pasalnya sistem presidensil di Indonesia mengehendaki adanya pemerintahan yang seimbang dan saling kontrol (check and balances) antara legislative dan ekssekutif.
Maka secara faktual penerapan presidential threshold justru menimbulkan unbalance government karena posisi eksekutif lebih dominan dalam menjalankan pemerintahan. Legislator yang mempunyai tugas sebagai pengontrol jalannya pemerintahan eksekutif semakin lemah karena kecenderungan koalisi yang satu arah dengan kebijakan presiden.
Pro kontra mengenai Presidential Threshold akan terus berkembang jika tidak menemukan titik temu. Maka solusi untuk mengakomodir keinginan dua kubu pendukung presidential threshold (PT) nol% dengan 20% kursi atau 25% suara adalah dengan cara memoderasi ulang besaran PT tersebut menjadi 10% kursi atau 15% suara sah nasional. Berharap MK untuk mengabulkan gugatan PT menjadi nol% rasanya sulit mengingat MK sudah beberapa kali menolaknya. Keragaman pilihan Capres-Cawapres tetap perlu dihadirkan untuk menjamin hak konstitusional warga negara secara lebih luas dan mengindari gejala divided society seperti pada Pilpres 2019.
*Artikel tersebut telah diterbitkan sebelumnya di Akurat.co tanggal 19 Desember 2021. Link Artikel :
https://akurat.co/jalan-tengah-presidential-threshold
0 Comments